Asylum [Agustus 2018]

10 1 0
                                    

Mari kita mulai permainannya.

Ada suara-suara dalam kepala Rain yang membujuknya -atau bahkan mengiba padanya- untuk membunuh. Orang lain atau dirinya sendiri. Mudah, bukan?

***

Suara-suara.

Hanya suara-suara dalam kepalanya yang terasa nyata, dan lainnya terasa hening. Kosong. Seperti isi kepalanya . Bukan, bukan artinya dia bodoh. Namun, dia memang tak mampu mengingat apa pun. Apa. Mengapa. Bagaimana. Lain-lain. Lain-lain. Lain-lain.

Rain tak bisa mengingat tentang kemarin, kemarin lusa, seminggu lalu, bulan kemarin bahkan sebelum-sebelumnya. Atau mungkin dia punya janji dengan dokter gigi pukul empat sore di esok hari yang tak bisa diingatnya. Mengingat apa yang seharusnya menempel di sel-sel otaknya. Rasanya seperti akan mengucapkan sesuatu tapi segalanya menguap begitu saja di ujung lidah. Hilang.

Suara-suara itu lagi.

Membuat perut Rain terisi banyak kupu-kupu dan itu bikin mual. Bikin ingin muntah. Padahal, sejak sadar hingga saat ini, perutnya belum terisi apa pun.

Pejamkan mata, bodoh.

Lelaki itu mengerjap, mulai memperhatikan sekelilingnya. Dia berada di sebuah kamar yang asing, namun anehnya terasa menghangatkan hati. Ingatannya tidak mengenal, tapi kenangan akan aroma dan warna-warna yang ada malah menerjang.

Rain beranjak dari ranjangnya-yang bisa ditempati untuk dua orang-dan menghampiri rak yang berisi buku-buku. Puisi? Dia tidak ingat kalau dia suka membaca buku-buku puisi, terlebih karangan dari... Rain? Dirinya sendiri?

Dia tidak ingat, well, dia memang kehilangan seluruh ingatannya sejak awal. Meninggalkan nama Rain dan seraut wajah manis dalam benaknya.

Cklek.

Suara pintu terbuka, Rain menoleh.

Seraut wajah yang tadinya hanya berada dalam benak, mewujud nyata.

"Kau sudah bangun, Rain?"

Gadis berambut panjang menyembulkan kepala dari balik pintu. Tersenyum lebar. Rain tergugu, diam.

Mungkin, begini rasanya orang buta bisa melihat matahari kali pertama, pikirnya.

"April?" bisik Rain.

Mata sang gadis membulat, berbinar senang. "Kau ingat?"

"Tidak, tapi, maksudku, aku ingat kau. Rasanya,"

April, yang mengenakan gaun putih sederhana melengang masuk kamar. Gadis ini membuka jendela, membiarkan sinar matahari menerpa dan aroma laut menguar masuk ke dalam. Rain menghela napas dalam-dalam, menikmati wajah gadis yang ada di hadapannya.

"Tak apa, jangan memaksakan diri untuk mengingat segalanya, Rain. Terkadang lupa adalah cara terbaik menghapus luka," ucap April. Angin laut, yang baru disadari Rain bahwa kamarnya menghadap ke sisi pantai, berhembus masuk seolah ingin mengembalikan ingatan Rain. Menguarkan aroma samar orange blossom ke sepenjuru ruangan.

"Versace Yellow Diamond?"

April tersenyum kecil. "Kau tidak ingat apa pun tapi ingat nama parfum yang pernah kauberi untukku?"

"Entah, nama itu tiba-tiba muncul di kepalaku."

"Dulu kubilang, aku suka wangi orange blossom dan kau langsung membelikan Versace untukku."

Angin bertiup lagi, mengibas kain penutup jendela, menutupi April dari pandangannya. Tersentak kaget, Rain menarik April ke dalam dekapnya.

"Kenapa, Rain?" gumam sang gadis keheranan.

"Ah, maaf," lirih Rain sembari memisahkan diri. Lelaki itu menyisir rambut sebahunya ke belakang, usaha menutupi gugup sebelum melanjutkan, "Aku hanya merasa... Aku hanya takut kau hilang."

April menggenggam tangan Rain, menangkupkan keduanya di pipi mulusnya.

"Aku tak akan hilang dari hidupmu, hatimu... juga kenanganmu," bisik April sembari memejamkan mata: menikmati tangan kekasih, seolah hangatnya merasuk ke dalam; hingga ke sel-sel jiwa, melalui pipi yang menggoda dikecup itu.

Rain memilih diam, memuaskan diri memandangi wajah perempuannya lamat-lamat. Sungguh ingin dia cecap bibir merah basah di hadapannya itu. Bibir yang lengkung senyumnya sempurna, bagai kudapan manis yang menggoda diisap lembut. Demi Tuhan, Rain tak akan bosan mengamati wajah teduh dalam genggamannya ini. Terasa begitu cantik, begitu rapuh. Mata gadisnya yang memejam terlihat elok, serasi dengan alis yang terukir tipis namun mempesona. Pun lesung pipi yang mengintip malu-malu tiap bibir itu terkembang meski sedikit. Rain memindai tiap lekuk wajah April, bahkan tak bosannya dia mengamati tiga bintik tahi lalat sejajar di bawah mata kiri gadis itu.

Mari kita mulai permainannya. Bunuh dia, atau dirimu sendiri?

Badan Rain mengejang kaku. Suara-suara itu lagi.

Terkejut, Rain menarik dengan kasar tangannya dari genggaman April. Membuat gadisnya ikut tersentak, menyiratkan luka di matanya samar-samar.

"Ah, maaf." Rain melangkah mundur dan menyisir rambut dengan frustasi.

April hanya tersenyum sedih dan menggeleng kecil.

"Berapa usiamu sekarang, Renren?" tanya April yang membuat Rain terkekeh. Renren, panggilan kekanakan yang dibuat gadis itu khusus untuknya.

"Dua lima... kan?"

"Rain, dunia masih berputar. Waktu masih terus berjalan. Kamu yang berhenti," bisik April, tak dipahami oleh lelaki yang terduduk di ranjang.

Angin berhembus membawa wangi laut disertai samar-samar aroma orange blossom.

Pilih, Rain. Bunuh dia, atau dirimu sendiri?

Rain tercekat, rasa sakit teramat sangat mengendap di kepalanya. Wajahnya memucat, menahan erangan.

"Tidak. Jangan, tolonglah. Jangan lagi. Jangan bunuh kekasihku lagi..." erang lelaki sembari mengepalkan kedua tangannya.

Ingatan-ingatan berkelebat dalam benak. Tanpa disadari, kedua tangan Rain telah berada di leher jenjang April, sedangkan tangan April menangkup kedua pipinya, matanya sembab.

"Hadapi kenyataannya, Rain. Jangan lari lagi. Ingat aku dan berdamailah dengan semuanya. Maafkan dirimu sendiri. Aku menyayangimu," tegas April sebelum wujudnya menguap, meninggalkan tangan Rain menggenggam udara kosong. Sekosong tatapan Rain.

***

"Hei, sudah tahu kalau pasien VIP kita kumat lagi?" tanya Lisa pada seorang kawannya.

"Eh? Rain yang penulis terkenal itu?"

"Yep. Padahal dulu aku menyukai puisi-puisinya."

"Bukannya sampai sekarang? Makanya kau senang sewaktu dapat jatah untuk menjaganya?"

"Jangan menggodaku, Ra. Sekarang sih, ketimbang suka... aku lebih kasihan pada pria paruh baya itu."

"Siapa pun yang tahu cerita hidupnya, mungkin akan jatuh simpati." Ujar Mira membenarkan Lisa.

Semalam, Rain berusaha meredam suara-suara dalam kepalanya. Membunuh dirinya dengan pecahan kaca jendela. Setelah dua belas tahun terpenjara dalam ingatan lama, menghilangkan paksa setiap kenangan.

"Menuliskan puisi dan mengirimkannya dalam sepucuk surat setiap hari ke orang yang sudah tiada. Menyedihkan," bisik Lisa.

"Siapa yang mengira kalau pria tampan penuh pesona itu mengidap skizo dan membunuh kekasihnya diam-diam tiga belas tahun lalu, heh?"

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang