Omong Kosong [Januari 2019]

7 1 0
                                    

Kalian boleh ambil apa saja dariku, asal bukan kebebasanku dalam menulis.

***

Sepagian ini aku sudah menyibukkan diri sejak terbangun tanpa sengaja. Sial. Usahaku melenakan diri dalam lelap semakin tak pernah berhasil kalau hari libur tiba. Kapan pun aku jatuh tertidur (meski biasanya aku—hampir—tak pernah tidur sebelum atau selepas pukul satu pagi), pasti aku selalu terbangun tepat pukul enam lebih (yah, lebih empat lima juga masih dihitung pukul enam lebih, kan?). Itu kalau tidurku bisa sedikit berkualitas, karena semisal aku sudah terlalu lelah dengan segala ritus yang itu-itu saja ... bisa jadi aku terbangun di pukul tiga. Semakin lelah, semakin sering aku terbangun. Dan sebab itu pula, aku jadi merasa hampa ketika menjalani ritus seharian nanti.

Sekarang pukul sebelas lebih lima puluh dua, aku sudah selesai membersihkan rumah, mencuci baju dan memasak, pun membaca beberapa lembar halaman The Raven yang belum kutamatkan hingga saat ini. Oh, juga menyelesaikan sedikit pekerjaan kantor yang biasanya haram kubawa ke rumah. Setelahnya, aku mencoba menulis ini sembari menunggunya terbangun. Dia, laki-laki yang memenuhi pikiranku beberapa bulan terakhir. Mengisi sebagian besar ritusku setiap harinya dan terkadang mengisi bagian dalam diriku dengan keangkuhannya sebagai lelaki saat malam.

Pukul dua belas lebih tujuh, aku masih saja terpaku di depan laptop. Bukan mencari ide, karena aku sudah menatapi layar kosong sejak berpuluh-puluh menit lalu, bingung hendak menulis apa. Sekarang, aku sedang dalam tahap mencari cara bagaimana aku bisa menuangkan beberapa ide yang tak sengaja kudapati tadi. Yah, menulis tak pernah lagi menjadi menyenangkan sejak aku mendengar dua orang yang mencaci semena-mena pada kegiatanku ini.

Bukan, aku bukan penulis yang lemah. Penulis yang mendapat kritik sedikit langsung enggan menulis, langsung melahirkan ribuan alasan agar tak harus kembali menulis dan lain sebagainya. Aku tak akan begini kalau orang-orang itu berbicara setelah menggunakan otaknya baik-baik. Orang pertama, seolah mengkritik tulisanku tapi yang dia lakukan hanyalah membunuhku perlahan. Seorang perempuan yang jatuh hati padaku namun tak akan pernah bisa mendapatkan apa yang dia mau. Perempuan ini tadinya mendekati kekasihku agar tetap dekat denganku. Akhirnya, dia tak bisa lagi menghadapi kenyataan betapa mustahil aku jatuh hati padanya dan karena hal itu, secara brutal dia mengeluarkan kalimat-kalimat yang menyakitiku. Aku tak akan peduli jika dia hanya memakiku atau sejenisnya, tapi masalahnya, dia membual omong kosong tentang betapa tidak terimanya dia saat membaca tulisan-tulisanku. Dia merasa—entah kenapa—bahwa aku sedang menyindirnya. Bahwa aku memasukkan obrolan-obrolan kami dalam tiap tulisanku. Asu. Padahal dia tidak disukai banyak kawan kami karena ... sikap dan tingkahnya yang ingin sekali mempertahankan imej polosnya—dan gagal.

Entah dari mana dia bisa berpikir seperti itu, mendapat imajinasi dan bertingkah tidak seperti penulis profesional. Padahal dia adalah orang yang paling semangat membaca beberapa tulisanku tentang perempuan-perempuan yang mengganggu hubunganku dengan kekasihku.

"Aku selalu suka caramu memampuskan mereka yang mengganggu hubunganmu, Mas. Memampuskan perempuan-perempuan tak tahu diri dan halu itu dengan elegan di tulisanmu," katanya.

Well, mungkin acara memampuskan ini hanya bisa diberlakukan pada orang lain. Namun bukan padanya. Orang-orang tak berhak mengkritiknya, sebab hanya dia yang bisa merendahkan orang lain. Aku tak bisa menceritakan apa-apa yang dikatakan perempuan itu padaku. Bisa-bisa, nanti kalian ikut muak padanya padahal tak mengenalnya dengan baik.

Selain perempuan ini, orang kedua paling asu justru lekakiku. Kekasihku. Di satu hari, dia membiarkanku menulis tentang perempuan-perempuan yang memngganggu kami. Bahkan dengan bangga memberikan tulisan itu pada mereka. Kemudian di lain hari, dia justru menyalahkanku karena tulisan-tulisanku membuat para perempuan itu menjauhinya. Duh, kalau ini bukan hal yangm asu, ya bajingan. Dua orang ini bisa dianggap adalah orang terdekatku dalam waktu beberapa bulan terakhir, dan juga orang yang paling membunuhku akhir-akhir ini.

Pukul dua belas lewat tiga puluh. Kawanku mengirimkan pesan singkat untuk mengingatkanku bahwa besok sore akan ada kebaktian, sebab besok adalah hari ketujuh setelah perempuan itu meninggal karena kecelakaan. Iya, perempuan yang membuatku sulit untuk menulis itu sudah tiada.

Oh, perkara kesulitanku menulis—karena merasa kebebasanku direnggut paksa oleh kata-kata yang seenaknya—kuceritakan pada kawan yang baru saja kubaca pesannya. Aku bercerita padanya minggu lalu, sedang masalah ini sudah menghantuiku sejak bulan-bulan kemarin. Kawanku, yang menganggap keadaanku selalu baik-baik saja jelas tidak percaya. Tidak percaya bahwa perempuan dan kekasihku bisa menjadi begitu kejam dengan amat bodohnya tanpa menyadari dampak yang terjadi padaku. Dia lantas memberikan semangat, agar aku lekas berdamai pada keadaan dan tidak membiarkan orang-orang itu membelenggu kebebasanku.

"Lekas menulis lagi, Jo. Aku ingin membaca karya-karyamu yang baru. Bukan yang dulu."

Sebuah kalimat yang membuatku ingin bergegas menulis kembali, mencari kenyamanan yang pernah hilang. Memunculkan kembali rasa bebas saat menarikan jari-jari di atas tuts laptopku.

Pukul tiga belas lewat lima menit. Aku sudah selesai makan siang dan mencuci bekas-bekas peralatan yang kupakai. Duduk di depan laptop, menuliskan omong kosong demi melatih diri untuk kembali menulis seperti dulu. Juga menunggu kekasihku bangun.

Pukul tiga belas lebih sembilan. Aku menemukan memar-memar baru di tubuhku. Efek terlalu lelah setelah enam hari lembur di kantor, atau karena semalam kekasihku tak mengijinkan aku beristirahat, atau karena keduanya? Entahlah.

Tiga belas lewat tiga belas. Aku masih menunggu kekasihku bangun sembari menuliskan ini. Aku menargetkan tulisan ini mencapai seribu kata, namun sepertinya tak akan bisa mencapainya seperti biasa. Cerita-cerita yang kutulis, seringkali tak pernah lebih dari angka lima ratus setiap kalinya. Sesekali tujuh ratus, amat jarang seribu kata. Bukan apa-apa, aku hanya kesulitan menulis cerita dengan berbagai latar dan tokoh yang begitu mendetail. Keahlianku, menuliskan hal-hal yang bisa dihabisi pembaca dengan sekali duduk. Singkat, padat, dan sedikit membuat kesal. Setiap penulis punya ciri khasnya, bukan? Begitu pula denganku. Tulisan singkatku, tentu punya pembaca-pembacanya sendiri. Mereka yang menagih dengan setia untuk membaca karyaku. Bahkan omong kosongku. Demi Tuhan, apa kabar pembaca-pembacaku itu, ya? Wah, membicarakan mereka membuatku merasa bersalah karena sudah lama tak menulis.

Pukul tiga belas lebih dua puluh empat. Sepoi-sepoi angin menerpa wajahku, membawa wangi tanah basah pertanda hujan akan turun. Sama seperti semalam. Wangi yang menurutku mengandung romantisme tersendiri, romantisme yang sulit dijelaskan dengan rangkaian kata-kata yang penuh omong kosong.

Tiga belas lewat tiga puluh empat. Hujan sudah mengeroyok bumi dan kekasihku belum bangun juga. Oke, ini keterlaluan.

Tiga belas lewat tiga puluh tujuh. Aku baru saja mencoba membangunkan dia, tapi sepertinya dia sudah tak bernyawa. Oh, aku baru ingat. Semalam dia memakan masakan buatanku: sup asparagus yang kumasak dengan air bekas rebusan bunga lili lembah.

Dua orang yang mencerabut paksa kebebasanku menulis tanpa mereka sadari sekarang sudah tiada. Mungkin itu sebabnya aku sekarang bisa menuliskan seribu kata—bahkan lebih dalam sekali duduk. Seribu kata penuh omong kosong. Namun, membaca omong kosongku selalu lebih menarik ketimbang mendengar ocehan para petinggi negara, kan?

Aku, lelaki yang kembali bebas

Jonathan

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang