Elysia [Juli 2017]

14 1 0
                                    


Hai, namaku Hani. Abel Raihani. Ketika kalian membaca catatan ini, entah di blog pribadi, fotokopian selebaran, atau bahkan di kumpulan cerita fiksi, perlu kalian ketahui: aku sudah mati.

Kalau boleh kuceritakan tentang diriku: aku gadis yang biasa-biasa saja. Rambutku ikal dan sebahu panjangnya. Berwarna coklat tua dan di usiaku yang kedua-satu bulan lalu, aku memberikan sedikit sentuhan berwarna madu di sana. Bentuk tubuhku proporsional. Seperti yang kubilang, aku biasa saja. Ibuku seringkali memuji manis, namun hal itu tidak bisa mengenyahkan kenyataan bahwa aku ditindas oleh temanku semasa sekolah. Kenapa? Hanya karena pigmen dominan di kulitku adalah warna gelap, meski tidak segelap malam. Tapi itu sudah cukup bagi mereka untuk menghina fisikku. Aku baik-baik saja, memang. Tak ada gores, lecet atau semacamnya. Hanya hati dan pikiranku yang luka. Perih, tapi tak berdarah.

Tenang, matiku bukan perkara remeh itu. Pikirkan saja, kalau hanya kasus itu, bukankah lebih baik aku memilih mati delapan tahun lebih cepat? Lagipula, paragraf di atas hanya sekadar perkenalan. Juga sedikit memberi bumbu. Sensasi. Bukankah manusia jaman sekarang suka dengan hal-hal seperti itu? Memberitakan dengan heboh jika orang-orang meninggal, kalau perlu, cari sudut yang mana bisa menaikkan rating. Tanpa peduli jika menggiring opini para pembaca ke arah yang tak sepenuhnya benar. Permainan judul sampai isinya yang ditulis sedemikian rupa, penambahan micin di sana-sini, hanya agar masyarakat tertarik membaca berita buatan mereka.

Ah, aku tidak begitu peduli. Toh saat kalian membaca ini, aku sudah mati. Dan kuyakin, matiku akan menimbulkan sedikit sensasi dan menjadi sasaran empuk para wartawan. Wajar, karena ayahku menduduki salah satu kursi parlemen dengan jabatan yang cukup tinggi. Pikirku, ketimbang media mencari celah dengan susah-payah, maka kutuliskan saja surat--catatan ini untuk dijadikan bahan berita. Yah, aku juga tahu dengan pasti: mereka akan menemukan banyak hal yang tak bisa kubayangkan untuk melahirkan anak-anak beritanya. Melahirkan spekulasi-spekulasi yang kemungkinan besar melibas kenyataan. Demi rating.

Halah. Manusia. Katanya sih, memanusiakan manusia. Tapi aku heran, letak manusianya di mana? Makhluk seperti apa yang diberi cap dikeningnya untuk menunjukkan bahwa dia manusia? Katanya, manusia berakal pikir. Tapi aku heran, sepertinya banyak manusia yang hobi menggadaikan otaknya di rumah makan Padang. Jaman sekarang, masih adakah yang pantas disebut manusia? Silakan garuk kepala kalian yang tidak gatal demi terlihat sedang berpikir.

Singkat ibarat, mari kita lihat Fia. Gadis yang baru saja menetas dari warna putih abu-abunya. Dia melakukan plagiat kemudian dianiaya sedemikian rupa di jagad maya. Well, aku tidak membela pihak mana pun. Aku muak melihat akting si gadis yang berperan sebagai korban, merasa begitu putus asanya karena perlakuan warganet. Tapi, itu sih salahnya sendiri. Dia terlalu cinta ketenaran, bukannya minta maaf dan tutup masalah... dia malah memilih minta maaf namun mengelak dan melakukan kesalahan yang sama. Fix. Aku yakin kalau cemilan di rumahnya micin berkarung-karung. Apa yang dilakukan gadis itu salah, tapi aku juga tidak membenarkan perilaku orang-orang yang menghinanya. Aku muak dengan kelakuan Fia, namun lebih muak lagi melihat penghakiman aneh yang dilakukan mereka pada Fia. Ah, terakhir kudengar si gadis yang mengaku sebagai bullying survivor itu, terlihat baik-baik saja dalam salah satu video yang diunggahnya. Tertawa bahagia saat wisata di Jogja. Mau tertawa bersama? Yuk. Menuntut dimanusiakan, mereka itu. Tapi tidak menunjukkan tanda-tanda mereka manusia. Hm.

Sebenarnya, ketenaran Fia disebabkan oleh banyak media yang menyorotnya. Karena tulisannya yang mengulas tentang agama dan pancasila, yang entah kenapa dianggap begitu hebat. Kemudian, undangan-undangan berdatangan dari menteri hingga presiden untuk berbincang syahdu dengannya. Pemerintah memiliki andil yang cukup besar dalam melambungkan namanya. Mengorbitkan dia secara instan menjadi penulis karbitan. Oh, kurasa Fia juga ingin menjadi artis, mengingat adanya beberapa video yang dia unggah di jagad maya. Sayangnya, akting dia belum cukup meyakinkan. Mari garuk-garuk kepala (lagi). Sekarang, kutanya: di mana pemerintah? Para pejabat yang dulu mengundang Fia dan membuatnya naik daun, di saat gadis itu mengalami hal-hal mengejutkan ini. Hanya pendapatku saja, Fia masih butuh bimbingan dalam menyikapi tenarnya tulisan dia. Menjadi penulis tanpa mental yang mumpuni akan mampu menenggelamkan semudah namanya mengangkasa. Adalah kesalahan jika mereka melepas Fia dengan puja-puji yang begitu semarak. Hasilnya, malah muncul drama picisan tak kunjung usai. Membuatku terjebak antara ingin mengasihani dan menahan tawa melihatnya. Bikin masygul.

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang