Lima belas tahun sudah aku mengenalmu. Lima belas tahun juga aku menyukaimu.
Andaikan aku bisa memutar waktu, bolehkah aku memilih untuk tidak mengenalmu?
Sepuluh tahun bersama menjalin kasih, menjaga setia, ternyata tak juga menggenapi kebahagiaanmu. Meski kaubilang hatimu untukku, kau tetap saja memilih yang lain.
"Aku dijodohkan, Mas," katamu, tiga bulan lalu. Mengira aku bodoh bahwa aku tak tahu apa pun tentangmu. Aku tahu kau sudah bersama lelaki lain semenjak tiga tahun lalu. Aku tahu kau menyukainya, sejak aku tak sengaja melihatmu bersamanya. Aku tahu kau bahagia dengannya, sejak kau semakin jarang menghubungiku.
Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja? Tak seperti kamu yang mampu tanpaku.
Aku masih ingat betul, Kelana. Saat pertama kita jumpa. Wajahmu yang ingin menangis karena lupa membawa pensil untuk mengikuti tes masuk SMA terbaik di kota ini. Karena itulah aku bisa mengenalmu, melalui pensil yang kuberikan padamu.
Aku juga masih ingat, ketika dengan hebohnya kau meyodorkanku majalah yang menuliskan tentang golongan darah dan zodiak. Khas dirimu sekali. Membicarakan keberuntunganmu di minggu tersebut. Karena itulah aku memberikanmu kalung dengan bandul berbentuk semanggi berdaun empat.
Aku masih ingat betapa resahnya dirimu, waktu menunggu pengumuman kelulusan SMA. Ditambah pengumuman lolos seleksi universitas di saat yang hampir berbarengan. "Kalau begini caranya, aku bisa mati muda, Ris," katamu rewel. Karena itulah aku tahu, cokelat panas buatanku bisa membuatmu tenang.
Aku masih ingat, Lana, bagaimana semangatnya kamu membicarakan kakak tingkatmu dengan mata berbinar-binar. Lalu menangis seperti anak kecil kehilangan permennya yang berharga tiga minggu kemudian, saat kamu tahu bahwa kakak tingkatmu sudah memiliki kekasih. Karena itulah aku punya alasan untuk memelukmu lebih lama dari biasanya, demi meredam sedihmu.
Aku masih ingat semburat merah di pipimu saat akhirnya aku berani menyatakan cinta. Setelah lima tahun aku menyimpan segala rasaku dalam diam dan takut membuatmu menghindar. Tanpa aku sangka kau memiliki perasaan yang sama buatku. Karena itulah aku memberanikan diri untuk mengecup keningmu.
Aku masih sangat ingat, saat kamu demam tinggi dan hanya bisa tergeletak di kasur. Tidak ingin makan apa pun dan hanya mau makan bubur buatanku. Tidak mau yang lain. Bahkan oden dari Lawson kesukaanmu. Hal itulah yang membuatku menyadari betapa manjanya gadis yang biasanya mandiri itu.
Aku juga masih ingat saat ... tiga bulan lalu kau mengatakan ingin menyudahi segala yang kita jalin. Matamu yang kalut, takut, tapi anehnya pun penuh harap. Hal itulah yang membuatku tercekat pada kenyataan bahwa ... mungkin kau tak pernah benar-benar jatuh padaku.
Hal itulah yang membuatku mengirimkan gantungan kunci cornicello pada pernikahanmu minggu lalu.
Tapi, Lana,
Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja?
Aku terus mengingatmu. Memikirkanmu.
Saat aku berjalan di taman kota, aku melihat sekeliling. Berharap akan bertemu denganmu.
Saat aku melihat notifikasi di gawaiku, aku masih berharap ada pesan darimu.
Aku masih berharap cerita kita masih berlanjut. Saling membersamai. Bukan masing-masing seperti ini.
Aku masih berharap pada harapan yang aku tahu tak akan terkabul. Sebegitu rindunya aku tentangmu, Lana.
Iya.
Aku tidak baik-baik saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Lust
Short StoryBuku ini dibuat untuk bersenang-senang. Bacalah buku ini dengan hati senang. Catatan: aku bukan manusia rajin yang aktif berkarya. Catatan (2): kuusahakan untuk mengumpulkan apa yang pernah kutulis sebelumnya. Catatan (3): akan diusahakan menambahka...