Bon Odori

9 1 0
                                    

15 Agustus

Cahaya lampu yang temaram menari-nari di kamar rahasia milik Hime. Ruangan itu pekat akan wangi bunga melati dan sedikit mawar. Tampak susunan buku di meja altar, yang merapat dengan tembok.

Di tengah ruangan, Hime duduk di lantai. Dibatasi meja, dia berseberangan dengan seorang pria yang mengenakan setelan kemeja putih lusuh dan bawahan celana kain berwarna biru.

"Sudah 20 tahun, ya," kata sang pria, memecah hening yang canggung. Suaranya terdengar bagai gaung dari tempat yang jauh, padahal mereka begitu dekat.

"Setiap tahun rasanya aku bertemu dengan gadis yang berbeda," tambahnya. "Kini kau terlihat seperti adikku."

"Karena kita hanya berkesempatan bertemu setahun sekali, Papa," jawab Hime pada lelaki tampan itu, yang ternyata adalah ayahnya.

"Aku merasa asing, sekaligus merasa sangat mengenalmu, Hime-ku." Sang lelaki berusaha menyentuh pipi putrinya, tangannya sudah bergerak namun terhenti di tengah jalan.

"Karena aku adalah bagian dari diri Papa, juga mencerminkan sebagian dari Mama."

Lawan bicara Hime terlihat sendu, amat jelas di matanya terpancar kesedihan yang purba. Membuat luka bagi siapa pun yang menatapnya.

"Tahun ini, kau memberikan sesuatu yang menarik untuk Papa." Matanya menatap tumpukan buku di altar.

"Ya, Papa." Hime tersenyum puas.

Mata pria itu menatap Hime tajam, tangannya tertangkup di depan bibirnya.

"Kenapa buku puisi?" tanyanya.

"Karena aku jatuh cinta pada puisi-puisi milik Yukio. Milikmu, Papa."

"Puisi yang membuatku tidak mengenalmu."

"Aku mengenal Papa lewat puisi."

"Puisi tidak akan menarik minat banyak orang, Hime."

"Bukuku akan menemukan jodoh pembacanya sendiri, seperti Papa."

"Mereka terkenal setelah aku mati," bisik lelaki itu.

"Mati adalah niscaya, Papa. Tapi tenanglah, aku tidak akan mati dalam waktu dekat. Aku masih ingin menulis. Membebaskan kata-kata. Membuktikan kita merdeka. Lalu menikah, memiliki anak-cucu. Meneruskan perjuangan Papa dan Mama."

"Bagaimana kabar Aiko, istriku?"

"Kenapa Papa tidak menemuinya sendiri? Mama baik, meski setiap pagi selalu saja menunggu Papa hingga matahari benar-benar muncul."

"Belum waktunya, Sayang. Belum waktunya aku bertemu dengan Mamamu."

Yukio tersenyum menatap putrinya sebelum melanjutkan, "nantinya, Aiko akan mendampingimu menikah, lalu mengajarimu bagaimana mengasuh anak. Mengajak cucu kami menanam pohon, sebagaimana yang selalu dia lakukan bersamamu."

"Ya, Papa." Hime tersenyum dan menggenggam erat tangan Papanya. Saling menguatkan.

"Maafkan aku."

"Jangan, Pa. Kami tidak pernah sekalipun menyalahkan Papa atas kritik pada pemerintah yang Papa tuangkan dalam tulisan saat itu. Papa hanya ingin mengubah sistem negara menjadi lebih baik, meski cara mereka menghakimi tidak dengan baik." Hime menahan isaknya. Selalu begitu.

"Maafkan aku, yang bahkan tidak tahu keberadaanmu padahal sudah tiga tahun kau lahir sebelum aku akhirnya mati."

"Akhirnya kita bertemu kan, Papa?"

Binar-binar bahagia yang redup membayangi kesedihan di mata Yukio.

"Di umurmu yang keempat, aku kembali. Kau bagai cahaya yang menuntunku pulang."

"Karena Mama mengenalkanku pada Bon Odori."

"Waktuku hampir habis, Hime."

"Mari pergi, Papa. Kuantarkan kau dengan melarung lampion di sungai. Seperti biasa."

"Seperti biasa," ulang Yukio.

Bayangnya mengabur, lilin padam.

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang