3

670 72 15
                                    

Rendi menghela napas lalu tersenyum kecil saat melihat sang ayah sedang teriak kesal dan sedang diomeli sang bunda karena tak sengaja mengumpat tepat didepannya.

Dia tahu yang berulah ini siapa. Bahkan sampai ayahnya salah memarahi karena terlalu kesal dengan apa yang sudah terjadi.

Tentu saja itu akibat kelakuan adiknya, adik kembarnya.

Rendra Abian Gamaliel, adik kembarnya yang sangat jahil dan menyebalkan bila sudah berada di rumah. Tapi tidak bila sudah keluar dari rumah, auranya akan sangat berbeda. Percayalah.

Kecuali jika Rendra hanya bersama dengannya atau ketiga sahabat mereka yang lain.

“Ayah sekesel itu sama Bian?” tanya Rendi sambil mengambil roti yang sudah disediakan sang bunda untuk sarapannya pagi ini.

Sang ayah mendengus kesal lalu kembal duduk di meja makan, “gimana gak kesel. Kaos kaki ayah dia ganti. Yang satu warna item yang satunya jadi warna pelangi. Gak tau itu dia nemu di mana.”

Drett!

“Apa sih ya? Kok nyalahin Bian? Kan itu kaos kaki pelangi ayah sendiri yang beli pas ke pasar minggu kemaren. Ya Bian cuma ngingetin ayah aja kalau ayah punya kaos kaki itu, kasian kaos kakinya gak pernah di pake,” ucap Rendra santai sambil memakan roti miliknya.

Rendi dan sang bunda menggeleng maklum, sudah terbiasa dengan kelakuan ayah dan si bungsu.

“Al, kamu katanya mau ikut main sama Bian?” tanya sang bunda yang mendapat anggukan Rendi.

“Iya, udah lama gak main sama yang lain. Al juga bosen kalau belajar terus,” ucap Rendi.

Rendra melirik Rendi dengan kening berkerut, “lo? Sejenis lo bisa bosen sama belajar? Ini serius Rendi? Ini seriusan Al?” ucap Rendra sambil meraba kening Rendi dengan brutal.

Rendi berdecak kesal dan menghempaskan tangan Rendra yang berada di keningnya, “punya adek kagak ada sopan-sopannya, heran gue.”

“BEDA LIMA MENIT DOANG, AN—KUCING!”

Rendi terkekeh pelan saat sadar Rendra yang gagal mengumpat karena sang bunda sudah menatapnya tajam.

“Giliran gini, ogah lu dipanggil adek. Giliran minta bayarin, lo pake embel-embel gue brojol duluan,” ucap Rendi.

Rendra tersenyum, menampilkan wajah tanpa dosanya, “itu udah beda lagi wahai saudara kembarku,” ucap Rendra sambil menepuk pelan punggung Rendi.

“Ahhkk,” desis Rendi sambil memegang punggungnya.

“Gue gak keras Al mukulnya, lo kok kesakitan?” tanya Rendra panik.

Rendi tertawa pelan lalu melanjutkan sarapannya, “bohong doang, panik ciee.”

Rendra mendengus kesal, “gak lucu.”

Sang ayah menggeleng melihat kelakuan anak kembarnya, “udah udah. Kalian pada mau berangkat jam berapa?”

Rendi melirik jam tangannya, menatap sang ayah dan tersenyum, “sekitar jam 8 an aja yah. Kenapa?”

“Ayah kira sekarang, tadinya kalau iya sekarang. Kita sekalian pergi bareng aja. Soalnya ayah sama bunda mau belanja bulanan,” jelas sang ayah.

Rendra mellirik ayah dan juga bundanya bergantian, “sekarang aja Al. Jadi bisa bantu ayah sama bunda. Nanti pulangnya aja minta turunin depan rumah Jeriel.”

“Ya udah, kalian siap-siap dulu.”

---

Rendi izin untuk meminjam kamar mandi Jeriel. Punggungnya sakit sebab tak sengaja beberapa kali terbentur oleh kasur yang berada dibelakangnya karena dirinya tertawa.

REND - Renjun Lokal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang