20

40 1 0
                                    

Tepat sembilan hari telah terlewati semenjak kunjungan terakhir Aurora ke rumah Malam. Walau merasa kecewa, Aurora akhirnya mengerti akan posisi Malam waktu itu. Wajar saja bila ia tidak sempat pulang. Jika Aurora berada di posisi Malam, ia juga akan melakukan hal yang sama.

Kala itu, saat Malam berbicara dengan Aurora melalui handphone, suara nyaring yang diikuti teriakan adalah suara terjatuhnya Neoma dari tangga. Karena semua orang di situ telah panik, mereka bersama Malam membawa Neoma ke rumah sakit. Sesaat Neoma menjalani perawatan medis, Malam mencoba untuk menghubungi orang tua Neoma. Namun, ternyata mereka sedang berada di luar kota.

Mendengar sang anak cedera, orang tua Neoma dengan panik meminta Malam untuk berhati-hati menjaganya, sementara mereka akan langsung pulang. Mengingat Neoma adalah anak tunggal, Malam merasa tertekan oleh tanggung jawab yang besar. Dalam kekhawatiran luar biasa, Malam pun berjanji ia akan merawat Neoma dengan baik.

Di sisi lain, Aurora—yang telah mendengar semua cerita dari Malam—langsung merasa tidak enak hati akibat kecemburuannya waktu itu. Namun, masalahnya sekarang adalah perhatian Malam. Semenjak berjanji dengan orang tua sang teman, Malam benar-benar rajin menjaga Neoma. Bahkan, setiap kali ditanyai tentang keberadaannya, Malam selalu menjawab kalau dia lagi di rumah Neoma. Aurora sudah berusaha sekuat tenaga untuk menerima situasi ini dengan bijak, tetapi gelombang cemburu itu terus menghanyutkannya.

Sudah segala cara Aurora lakukan untuk tidak memikirkan hal itu, tapi nahas pikirannya selalu kembali ke Malam. Ia kerap saja merasa bahwa semakin lama Malam menemani Neoma, semakin terasa jarak di antara mereka. Hingga tidak jarang, Aurora hanya bisa menangis dan tertidur dalam kesepian. Tidak ada yang bisa disalahkan olehnya, selain ketidakpekaan Malam. Karena, sampai saat ini Malam tidak pernah mengajaknya untuk berkunjung ke rumah Neoma. Maka teruntuk hari ini, Aurora pun menguatkan tekad untuk melangkah sendiri dan pergi menjenguk Neoma di rumahnya.

Sungguh senang Neoma kala mengetahui Aurora datang menjenguknya. Dengan bersusah payah, ia memeluk Aurora dengan tangannya yang di-gips. Aurora merasa perasaannya tercampur aduk antara bahagia dan bersalah. Bahagia karena bisa membawa senyum di wajah Neoma, tetapi sangat amat bersalah karena merasa telah absen dari hari pertama ia cedera. Sepenuh hati, Aurora pun meminta maaf, karena datang terlambat. Namun, dengan hangat Neoma menerimanya, karena kehadiran Aurora sekarang sudah sangat cukup baginya.

Walaupun sedang cedera, Neoma adalah Neoma. Kebawelan dan keceriaannya tidak pernah luput dari pandangan. Dengan candaannya dan energinya yang tak kenal lelah, Neoma pun bercerita dari A sampai dengan Z, hingga tanpa disadari, waktu pun berlalu dengan cepat.

Setelah melirik jam di ponselnya, Neoma seketika mengeluh kepada Aurora. "Sleepover dong hari ini! Udah lama banget gua nggak main bareng lo."

Aurora terkekeh lembut mendengar tawaran Neoma, tetapi dengan berat hati ia menolak. "Bukannya nggak mau, tapi ntar malem udah ada janji," katanya. Walau sebenarnya bukan janji, karena lebih tepatnya adalah rutinitas.

Masih belum puas dengan jawaban sang teman, Neoma pun kembali mengajak. "Ya udah, ntar aja abis gue balik camping, ya?"

Seketika mendengar perkataan Neoma, Aurora langsung terkejut. "Hah? Lo yang bener aja mau pergi camping, tangan masih begini?" ucapnya selagi tidak bisa menyembunyikan kecemasannya.

Neoma terkekeh, mencoba untuk meredakan kekhawatiran Aurora. "Nggak pa-pa, namanya juga jagoan ... Lagian rame juga, kok. Sekalian jadi alesan buat nyuruh anak OSIS lain. Gue mau bales dendam, biar gantian nggak gue terus jadi babu."

"Oooh, lo camping bareng anak OSIS?"

"Malam nggak ada ngasih tau, ya?"

Mendengar Neoma menyebut nama Malam, Aurora merasa sendu. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan ekspresi sedihnya dari sang teman. "Belum ... Lupa kayanya dia," duganya.

Selamat MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang