18

39 9 4
                                    

Semenjak Aurora menangis di hadapannya waktu itu, Malam menjadi lebih handal mengawasi langkahnya. Semuanya ia lakukan demi Aurora terkasih. Baginya, tak ada yang lebih berarti daripada melihat Aurora bahagia dan merasa aman dalam hubungan mereka.

Teruntuk malam ini, Malam tengah menunggu sang kekasih untuk datang, karena Mama-nya mengundang Aurora untuk makan malam bersama. Ketika mendengar bel rumah berbunyi, Malam berlari membuka pintu dan langsung memeluk tanpa memberi aba-aba.

Aurora pun terkekeh dalam dekapan hangat sang pacar. Senang, karena bukan hanya dia sendiri yang merindu. Di dalam pelukan yang penuh cinta itu, Aurora merasa dirinya sangat amat disayangi. Ia pun berandai dengan manis, menginginkan dosis harian dari pelukan ini seperti dulu saat mereka bisa bertemu setiap hari di Varsha.

Setelah meluapkan kerinduan hati, Malam dengan berat hati melepaskan pelukannya. Sepenuh kasih, ia pun mengamati sang kekasih yang belum sempat dilakukan tadi. Di matanya, Aurora tetap cantik seperti biasa, bahkan lebih mempesona di gemilang malam  yang menyelimuti.

Sambil memainkan rambut Aurora, Malam memandangnya penuh kekaguman. "Kamu cantik banget malam ini," ucapnya dengan suara yang lembut.

"Aku biasa aja hari ini?"

Sekali lagi, Malam mengamati Aurora dari atas hingga bawah. "Justru itu, makin nambah cantiknya," ulangnya meyakinkan. Saat ini sang kekasih tengah memakai dress simpel tanpa motif dengan warna favoritnya; merah. Rambutnya terikat anggun seperti biasa dengan pita berwarna senada. Tidak terlupakan juga gelang tipis yang selalu dikenakannya hingga membuat Aurora terlihat tambah manis. Benak Malam langsung terarah ke masa kecilnya dulu, ingin kembali memastikan wajah mereka. Namun, cepat-cepat ia membuang pikiran itu jauh-jauh. Tak ingin merusak suasana.

Menyadari binar di mata Malam, Aurora pun tersenyum penuh pengertian, seolah bisa membaca pikiran sang pacar. "Aku lagi mirip banget sama teman kecil kamu, ya?" tanya Aurora dengan suara lembut.

Dipenuhi haru, Malam menatap Aurora
dengan harapan yang tulus. Dalam hati ia merapal segala angan agar kenangan masa kecil mereka tetap hidup di dalam hati Aurora, sebagaimana hal itu terus hidup di dalam hatinya. "Kok kamu tahu?"  ucap Malam ragu-ragu.

Hati Aurora seketika terasa berat dengan rasa kalah dan sedih yang melandanya. "Mata kamu," gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Dengan perasaan yang campur aduk, ia tenggelam dalam gelombang emosinya. Penuh keraguan, ia pun bertanya pada Malam, "Kalau ... Kalau misalnya aku bukan teman kecil kamu, gimana?"

Dengan lembut, Malam mengusap pelan rambut Aurora, mencoba menepis kesedihan yang menghantui sang kekasih. "Ra, kenapa jadi sedih begini?," ucapnya dengan suara lembut. "Ya, nggak apa-apa kalau kamu bukan dia, Ra," jelas Malam penuh dengan keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dirinya hanya menyayangi Aurora.

Meskipun hatinya teriris oleh rasa sakit, Aurora tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, mencari jawaban yang mungkin akan memperparah kesedihannya. "Kalau akhirnya kamu ketemu sama teman kecil kamu, gimana?" bisiknya.

"Ya, nggak gimana-gimana. Temenan aja lagi."

Meskipun jawaban sang kekasih bertujuan untuk meredakan gundahnya, tapi bohong jika Aurora tidak merasa cemas. Semakin waktu beranjak menuju tengah malam, semakin banyak juga keraguan yang terus menghantam pikirannya. Sulit baginya untuk mencerna perkataan Malam sebagai perasaan aman, karena ia merasa bukanlah yang utama. Bahkan, hingga berada di tengah kehangatan keluarga Malam saat makan malam, ia masih saja terasa terjebak dalam kegelisahan yang tak ada ujungnya.

Dengan wajah yang terhiasi senyuman hangat untuk menutupi segala perasaannya, Aurora berharap dengan segala kekuatan yang ada agar Malam tidak bertemu dengan teman kecilnya. Semoga saja terjadinya hari itu masih jauh dari pandangan, karena sejujurnya Aurora sangat amat belum siap untuk kehilangan Malam.

••••👩🏻‍💻⚜️👨🏻‍💻••••

Enggan melepas Aurora untuk pulang sendirian, akhirnya Malam memutuskan untuk menyetir mobil sang kekasih dengan alasan nantinya dia bisa pulang pakai ojek. Mulai saat Aurora duduk di dalam mobil, ia sedikit berbicara hingga Malam berusaha segala cara untuk membuat perjalanan mereka terasa lebih hangat. Malam mengerti bahwa terkadang diam adalah cara bagi Aurora untuk menyikapi momen-momen indah, tapi untuk kali ini, Malam merasa bahwa ada hal yang membebani pikirannya.

Malam dengan lembut membujuk, "Ada apa, sayang?" Berhati-hati membagi konsentrasinya, Malam pun meraih tangan Aurora untuk menggenggamnya.

Dengan hati yang berdegup kencang, Aurora mengamati rupa Malam dalam keheningan yang terbentang di antara mereka. Setelah sekian menit berlalu, ia akhirnya menemukan keberanian untuk berbicara, "Malam," panggil Aurora dengan suara yang hampir tercekal.

Mendengar namanya dipanggil secara utuh, Malam sontak menoleh dengan panik. Tatapan cemasnya bertemu dengan manik hitam Aurora dan segera saja ia menyadari bahwa ini adalah momen penting bagi pasangannya. Malam berinisiatif menepikan mobil ke tepi jalan untuk memberikan segala perhatiannya kepada Aurora. "Kamu kenapa, sayang? Aku ada salah, ya?" ucap Malam sepelan mungkin sambil mengusap tangan halus sang kekasih.

Aurora ragu untuk mengungkapkan perasaannya kepada Malam, khawatir tangisnya akan pecah. Berusaha sekuat tenaga mengatur napasnya, Aurora akhirnya mengungkapkan bahwa dia merasa tidak nyaman ketika Malam dibandingkan dengan si teman kecil.

"Aku udah berusaha buat biasa aja dengan itu ... Cuman aku nggak bisa bohong ke diri aku terus, Malam. Aku ngerasa semua perhatian kamu ke aku, hanya karena itu. Hanya karena aku mirip sama teman kecil kamu," jelasnya dengan susah payah. Hingga tak lama kemudian, Aurora tidak lagi bisa menahan tangisnya yang tumpah.

Merutuki dirinya sendiri, Malam merasa bersalah kala mendengar pengakuan sang kekasih. Tidak pernah ada sedikitpun niatnya membuat Aurora merasa seperti ini. Namun, kenyataannya Malam kurang peka terhadap perasaan pasangannya. Maka dengan penuh penyesalan, Malam pun berkata dengan lembut, "Ra ... Aku minta maaf, ya. Nggak ada sedikitpun maksud aku buat nyamain kamu sama orang lain. Maaf, kalau selama ini aku terkesan mendesak kamu ... Kamu adalah Aurora dan aku tahu itu. Aku nggak mungkin salah sama perasaan aku sendiri, Ra. Aku sayang kamu, sebagai kamu, sebagai Aurora."

Tidak bisa lagi banyak berkata, Aurora pun mengangguk dan meraih Malam untuk sebuah pelukan. Disambut dengan senyuman, Malam perlahan membantu Aurora ke pangkuannya. "Udah ya sayang, jangan khawatir lagi. Aku Malam-nya kamu, kamu Aurora-nya aku. Nggak bakalan ke siapa-siapa," rayu Malam dengan suara penuh kasih sambil mengelus punggung Aurora.

Sekali lagi, Aurora mengangguk. Ia pun menarik napas dalam-dalam, mencoba menemukan ketenangan di dalam dirinya sendiri. Perkataan Malam berhasil memberikannya rasa aman hingga akhirnya dia bisa mulai berbicara. "Aku juga minta maaf ya sayang," lirih Aurora yang memainkan rambut sang kekasih. "Maaf, karena selama ini aku nggak bisa jaga perasaan aku sendiri, jadi terlalu sering cemburuan ke kamu. Maaf juga kalau aku sering cengeng begini, nangis terus depan kamu."

"Nggak pa-pa sayang, terima kasih udah mau jujur ke aku," ucap Malam yang kemudian mengecup pipi Aurora, memberinya sentuhan kasih sayang nan hangat. "Aku bakalan berusaha buat jadi lebih baik lagi ke kamu, jadi tetap di sini ya, Ra. Tetap jadi kamu yang mau nyeritain perasaannya ke aku, selalu ... Aku sayang kamu, Ra."

"Aku juga sayang kamu," ungkap Aurora sambil mengecup Malam tepat di atas alisnya.

Dalam momen itu, segala kegelisahan dan ketakutan Aurora perlahan menghilang digantikan oleh ketenangan. Meskipun jalanan gelap dan mungkin ada banyak ketidakpastian di depan sana, kehadiran Malam memberikannya keyakinan bahwa mereka bisa menghadapi segala hal bersama-sama. Setidaknya, itulah yang membuat Aurora menguatkan tekadnya untuk bertahan....

Selamat MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang