9

76 16 7
                                    

Selama menjadi siswa Varsha Mulia, Malam kebiasaan menunggu Neoma. Seakaan sudah menjadi rutinitas, ia selalu pulang barengan dengan perempuan itu. Kadang Malam berpikir mungkin dia sudah menjadi supir pribadi Neoma yang bekerja tanpa gaji. Namun, sebetulnya ini ulah Malam sendiri. Ia yang memaksa Neoma untuk pulang dengannya, bahkan kadang rela menunggu kala sekolahan sudah sepi.

Terkadang kala bersama, mereka hanya saling diam, tapi sesekali Malam juga memancing pembicaraan. Seperti yang terjadi saat ini.

"Menurut lo, Aurora gimana?" tanya Malam mematahkan kesunyian.

Neoma mengernyit bingung dengan tak-tik Malam yang tiba-tiba ingin 'curhat' dengannya. "Tumben banget lo mau bahas beginian sama gue," kata Neoma tanpa menutupi.

"Cuman lo yang gue punya di sini."

Neoma bingung antara mau kasihan dan terpukau, akhirnya ia memilih jalan tengah dengan menyergah, "Makanya cari temen. Udah berapa bulan kita di sini, coba!"

Malam mendengus, "Neo ... Lo ngalihin pembicaraan. Dan seingat gue, terakhir lo bilang gue mesti lapor ke lo kalau emang iya ke Aurora."

"Iya gimana? Lo sendiri aja masih nggak mau ngaku," protes perempuan itu.

"Masa mesti gue jelasin lagi? Bukannya udah jelas banget, ya."

Neoma pun berdecak seakan menyindir. "Gue? Gue masih nunggu konfirmasi jelas. Gue nggak mau ya kalau lo cuman main-main nggak ada tujuan."

"Kenapa lo yang jadi sensian begini, sih?" tanya Malam yang sedikit lagi ngambek.

"Aurora teman gue, Ma. Wajar dong kalau gue merhatiin dia. Gue nggak mau ya kalau lo aneh-aneh ke dia."

Mendengar itu, Malam justru sedikit murung. Untuk kesekian kalinya, ia mendengar hal seperti ini. Mungkin impression dia sedikit melenceng bagi orang lain. "Lo kenal gue udah berapa lama? Emangnya gue pernah punya histori begituan?" tanyanya menantang demi membalikan nama baik. "Gue tau sebelum ke sini, gue nggak pernah bahas personal issues ke lo. Tapi serius, emang segitunya lo nggak kenal gue ya?"

Diam-diam, Neoma merasa menyesal dengan perkataannya tadi. "Jangan salahin gue. Lo juga gitu ... Let's face it, Ma. Dulu, lo sama gue cuman dekat gegara OSIS doang," jelas Neoma dengan memaparkan fakta tak terbantah. "Coba kasih tau ke gue, apa dan kapan kita pernah bahas masalah satu sama lain?"

Kali ini, Malam yang terkenal mudah ambekan memilih untuk meringankan pembicaraan. "Kenapa gue jadi ngerasa bentar lagi kita bakalan berantem," ungkapnya.

"Gue biasa aja."

Malam pun memutar kedua bola matanya dengan maksud mengejek. "Yeah, right. Seakan barusan lo nggak ngomel ke gue," bebernya.

Neoma pun mendengus malas tanpa menyanggah hingga Malam tertawa kecil. "Oke, okeee. Ampun kak Neoma, saya salah ... Abis ini gue janji bakalan lapor semuanya ke lo. Biar kagak dikatain dekat gegara OSIS doang," janji Malam sembari menyenggol Neoma dengan bahunya.

"Hidih, gue ogah dengerinnya!" serang Neoma dengan senyuman dikulum.

Tanpa ragu, Malam pun merangkul Neoma. "Berarti mulai hari ini, kita jadi teman beneran. Nggak lagi cuman gegara ketos-waketos," kekeh Malam. "Lu siap-siap aja ya, gue kadang suka over shared banyak hal," peringatnya.

Untuk pertama kalinya, Neoma resmi menjadi teman Malam. Bukan sebelumnya tidak, tapi sekarang ia naik pangkat menjadi teman curhat yang Malam butuhkan. Peringatan Malam juga tidak main-main. Lelaki itu cenderung bercerita banyak hal pada Neoma. Dan khusus belakangan ini, kisah Malam selalu bersangkutan dengan Aurora.

Selamat MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang