8

72 23 19
                                    

Mengikuti rencana kemarin, kini Malam kembali berada di ruangan OSIS. Baru beberapa hari ia tidak mengunjungi tempat ini, tapi tidak mengurangi momen dramatis baginya. Kemungkinan besar karena kejadian terakhir yang terjadi di sini.

Khusus hari ini, Malam sengaja duduk di bangku paling belakang. Anggota OSIS yang kemarin menemuinya juga sudah memenuhi ruangan. Tampak cemas terukir di wajah mereka semua, tanpa terkecuali Malam. Semua yang ada di sini sedang menunggu Aurora.

Tadi si sekretasi sengaja mengirim pesan pribadi pada sang ketua, meminta untuk bertemu. Malam yakin betul Aurora juga sama gugupnya dengan dirinya. Dan benar saja, begitu perempuan itu memasuki ruangan, pucat pasi wajahnya sedikit terlihat. Ingin rasanya Malam beranjak untuk mendekati, tapi ia bersikukuh di tempat. Dari kejauhan, Malam melihat semua anak OSIS mengerumuni Aurora sebagaimana mereka melakukannya pada Malam kemarin. Masih belum menyadari kehadiran Malam, Aurora memberikan semua fokusnya pada para temannya.

Terang-terangan, Malam menguping semua pembicaraan mereka. Bagaimana anak OSIS meminta maaf dan bagaimana Aurora terlampau baik memaafkan. Sebuah senyuman terselip di bibir Malam, tidak bisa dipungkiri rasa senangnya kala melihat Aurora perlahan mendapatkan haknya kembali. Namun, Malam masih enggan beranjak mendekat. Ia hanya mengamati dan tak ingin ikut campur, karena ini waktunya untuk si Ketos Varsha kembali bersinar.

Cukup lama mereka berbincang, justru Malam yang merasa pusing. Setelah semua berada pada lembar yang sama, tak ada lagi cerita buruk yang lalu. Si sekretasi menyeret nama Malam dalam pembicaraan. Sontak semua mata tertuju pada dia yang ada di pojok sana. Dan untuk pertama kalinya, Aurora menyadari kehadiran Malam yang sedaritadi menunggu.

Ketika tatapan mereka bertemu, Aurora memberikan senyum simpul pada Malam. Pelan-pelan, perempuan itu menyelinap keluar dari pembicaraan para anak OSIS yang kini membahas kerjaan bidang mereka masing-masing. Karena semua telah diperbaiki, Aurora mendekati orang terakhir yang belakangan ini menjauhinya.

Begitu mereka berhadapan, Aurora bertanya, "Lo masih marah?"

"Nggak pernah bilang gitu," terang Malam.

"Kelihatannya gitu."

Dengan kepala yang tertunduk, Malam mengaku, "Nggak tau, mungkin lebih ke kecewa."

Karena gugup, Aurora tak henti-henti memainkan jemarinya. "Gue minta maaf ya," gumamnya.

Sontak saja Malam mengadahkan kepalanya untuk menatap kedua manik hitam Aurora. "Kenapa jadi lo yang minta maaf?" tanyanya dengan sendu. Kedua mata juga Malam mendukung suasana hatinya hingga terlihat begitu sayup. "Semestinya gue yang minta maaf, udah main hakim sendiri."

Bukannya berfokus dengan pembicaraan, Aurora justru memotong dengan cepat. "Mata lo kenapa merah begitu?" tanyanya.

Malam menerjapkan matanya berkali-kali sakin bingung dengan selingan yang mengganggu fokusnya. "Hah? Apa?" celetuk Malam.

Mengikuti instingnya, Aurora langsung menyentuh pipi Malam dengan lembut. Benar dugaannya bahwa lelaki itu sedang demam. "Maaa, ini badan lo panas banget! Kenapa nggak pulang aja?!" cecar Aurora khawatir.

Malam justru semakin kebingungan, "Eh, emang iya?"

Aurora langsung memicingkan matanya terheran-heran. "Masa lo nggak berasa? Ini demam begini!" katanya. Tak lama Aurora menyadari bahwa temannya seakan hanya memiliki setengah kesadaran. Ia pun menepuk pelan bahu Malam, "Ayo! Ikut gue ke UKS."

Malam mengangguk tanpa penolakan. Begitu ia berdiri, sakit kepalanya semakin menjadi hingga ia sedikit sempoyongan. Sigap saja, Aurora memeluk lengan Malam untuk menuntunnya. Merasakan sentuhan itu, Aurora langsung mendesis khawatir. "Lo tiap hari masih berenang, ya?" tanyanya.

Selamat MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang