17

49 7 10
                                    

Mulai dua minggu yang lalu, berawal dari Malam mengajak Aurora ke villa. Perilaku sang pacar mengalami sedikit perubahan. Awalnya, Malam menyukai keberanian sang pacar yang tidak lagi ragu untuk menegurnya bila salah. Namun, belakangan ini, Aurora jadi terlalu sering mempermasalahkan hal kecil yang membuat Malam sedikit merasa terganggu. Benar-benar hal yang sangat sederhana hingga terkadang Malam malas untuk meladeni.

Seperti saat ini, Malam memilih untuk menjauhi handphone-nya demi sedikit kebebasan. Bukannya apa, ia hanya tidak ingin kembali berbohong dengan sang pacar, karena saat ini ia sedang bersama Neoma di lapangan sekolah. Sang pacar tidak pernah melarang secara terang-terangan, tetapi bukan berarti Malam tidak menyadari. Akhir-akhir ini, Aurora menjadi lumayan posesif, terutama apabila ada Neoma di dekatnya. Entah darimana munculnya api cemburu itu, tapi Malam tidak ingin menambah kayu bakarnya.

Kala Neoma menikmati sedikit waktu istirahat dari latihan dance, ia langsung saja menyeruput air mineral yang baru saja dibelikan Malam. Sesekali Neoma juga menanyakan tentang kabar Aurora yang banyak ditepis oleh sang teman. Kebingungan dengan masalah apa lagi yang melanda, kali ini Neoma tak berniat untuk ikut campur.

Dengan senang hati Malam pun mengalihkan pembicaraan. "Jadi, lo sama Yaniel gimana?" tanyanya.

Tidak menduga akan pertanyaan Malam, Neoma langsung membuang muka. "Nggak gimana-gimana," dengusnya.

"Nggak cocok?"

"Nggak tau."

Menelisik gerak-gerik Neoma, Malam langsung memahami gelagatnya yang patah hati. Bukannya menenangi, Malam justru mengejeknya. "Cielah, bilang aja Yaniel kagak mau sama lu. Garang begitu," ledek Malam cekikikan.

Menunggu datangnya jawaban sewot dari Neoma, Malam akhirnya menyadari. Untuk pertama kali, nihil hasrat dari sang teman untuk berdebat dengannya. Jelas, hanya susah hati yang terpampang di wajah Neoma hingga Malam tidak enak hati.

"Neoma?" panggilnya pelan. "Sorry, omongan gue yang tadi emang tolol banget," sambung Malam memelas.

Tidak menjawab perkataan Malam, Neoma justru beralih pergi duduk di bangku tepi lapangan. Tanpa suara, Malam pun mengikuti sang teman hingga duduk tepat di sebelahnya. Lagi-lagi, untuk pertama kalinya, Neoma mengutarakan masalahnya kepada Malam. Mencurahkan isi hatinya yang resah akibat ulah Yaniel. Mendengar itu, Malam kembali meradang akibat kelakuan Yaniel.

'Bodoh banget lo Yan, kagak pandai berhenti nyari masalah,' batin Malam.

Tidak henti-henti Malam mengutuk Yaniel, tapi tanpa sadar ia juga berterimakasih karena memberikan topik bagi Neoma untuk bercerita. Kini, tidak hanya dia yang membagikan keluhan, karena si teman juga telah mempercayainya dengan hal yang sama. Namun, rasanya baru saja Neoma membuka cerita, suara ponsel si teman membuat suasana buyar. Hilang sudah mode curhat pada diri Neoma yang kini fokus menatap layar kecil di tangannya.

"Eh? Rora nanyain lu," ujar Neoma kebingungan.

"Hah?"

Sambil menyodorkan handphone-nya, Neoma berkata, "Ini, lihat nih!" Nihil reaksi dari Malam, Neoma menyambung ucapannya. "Emang hp lu kenapa? Nggak ada kuota?"

Gantian, sekarang Malam yang membuang muka. "Banyak," cetusnya.

"Ya udah, telfon gih sono. Kabarin, jangan gangguin gua mulu!" suruh Neoma sembari mendorong Malam untuk pergi.

Bukannya bergerak, Malam justru menyandarkan punggungnya pada kursi. "Entaran dah," jawabnya. Kemudian, ia menunjuk ranselnya yang tergeletak di tengah lapangan. "Noh, handphone gua di tas sono. Baterainya juga habis, mager gua mau nge-charge," dalih Malam membuat Neoma mengernyit penuh curigaan.

••••👩🏻‍💻⚜️👨🏻‍💻••••

Sejak tanggal jadian mereka ditemui untuk ke empat kalinya pada seminggu yang lalu, Malam jadi jarang mengajak Aurora untuk bertemu selepas pulang sekolah. Dan, untuk seminggu belakangan ini, Malam benar-benar jarang mengabari. Seketikanya ia kembali, Malam seringkali memberikan berbagai macam alasan pada Aurora. Hubungan mereka semakin kurang komunikasi, terlebih lagi untuk tiga hari terakhir, Malam benar-benar hilang tanpa kabar. Tiap kali Aurora mencoba untuk memanggil, handphone-nya selalu saja tidak aktif. Gundah bukan main dirasakan Aurora hingga amarahnya juga ikut bermain.

Namun, setelah hampir 72 jam Malam menghilang tanpa kabar. Tiba-tiba saja, lelaki itu muncul tepat di depan rumah Aurora dengan membawa sebuket bunga. Layaknya tidak ada kealpaan, Malam mengetuk pintu seperti rutinitas biasanya di hari minggu.

Tidak menyangka bahwa sang pacar tidak melupakan tradisi hari minggu-nya, Aurora membuka pintu dengan wajah yang sudah bersungut-sungut. "Seminggu ini kamu ngilang mulu!" resahnya tanpa memberikan jeda untuk Malam menyapa. "Ke sini juga jarang. Kemana aja, sih?" sambung Aurora yang sudah geram hati.

Tidak ingin melawan api dengan api, Malam pun menjawab dengan lembut. "Aku nggak kemana-mana, sayang. Paling sama Neo di sekolah," ujarnya terlampau jujur.

Mendengar nama sang teman yang membuat Aurora panas hati, tanpa ragu ia mengutarakan pikirannya. "Bareng Neo mulu sampe aku dilupain!" sindirnya. "Kamu sadar kan, kalau kamu beneran nggak ada kabar tiga hari ini, Malam! Gimana aku nggak mikir yang aneh-aneh!"

Terdengar lagi namanya dipanggil secara utuh oleh sang pacar hingga Malam sedikit cemas. Kali ini, dia merasa bersalah dan perlu untuk mengakui itu. Pelan-pelan, Malam meraih tangan sang pacar sambil memberikan penjelasan.

"Jangan gitu dong, sayang. Aku ngilang, kan bukan buat pergi minum lagi. Cuman emang lagi sering aja ikut kegiatan OSIS di Platina."

Mulai memahami, emosi Aurora pun menurun hingga memberikannya waktu untuk berpikir jernih. "Yaaa, seenggaknya kamu pasti ada waktu senggang, kan?" tanya Aurora pelan. "Seenggak bisa itu ya buat ngabarin aku?" lanjutnya.

Melihat cahayanya tertunduk murung, Malam langsung menjelaskan keabsenannya belakangan ini. "Tiga hari yang lalu, handphone aku tiba-tiba rusak, sayang," akunya sambil mengeluarkan ponsel baru miliknya. "Nih, beneran ganti baru. Belum aku setting segala," sambungnya.

"Nggak bisa gitu, ngabarin aku lewat iPad kamu? Dulu aja kamu pernah facetime aku pake itu, kan?" tanya Aurora dengan pilu. Dengan suara yang sudah mulai serak, Aurora kembali bertanya, "Kamu emang sengaja nggak mau ngabarin aku, ya?"

Sungguh, rasa bersalah menghantui pikiran Malam hingga cepat-cepat ia menggelengkan kepalanya. "Enggak gitu, sayang. Nggak ada niatan begitu," kilahnya sedikit berdusta sebab memang ada saat tertentu yang membuatnya enggan mengabari sang pacar.

Bersusah payah Aurora kembali membuka suara, harap-harap air mata tidak terjatuh. "Masa aku harus nanyain Neo mulu? Memangnya aku pacar Neo? Ngechat dia mulu," lirihnya.

Takut cahayanya menangis, Malam cepat-cepat memeluk sang kekasih. "Jangan nangis ... Kamu nggak perlu chat Neo mulu. Kan, kamu pacar aku," pesan Malam.

Bukannya tenang, Aurora justru langsung menangis. Sambil membenamkan wajah pada dekapan Malam, Aurora bertanya sambil sesenggukan, "Lalu memangnya kamu pacar Neo? Tiap kali ditanya, dia selalu tau kamu di mana."

Malam pun tersenyum mendengar ucapan sang kekasih yang menurutnya begitu menggemaskan. Tanpa ragu, ia mengeratkan pelukannya agar Aurora juga merasakan bahwa dirinya juga merindu. "Jangan cemburu sama Neo ya, cantik," katanya untuk memujuk Aurora. "Yang aku pikirin cuman kamu, kok. Kamu nggak perlu sampai mikir yang aneh-aneh gitu," rayu Malam.

Berpegangan dengan ucapan sang kekasih, Aurora pun mengangguk penuh keyakinan. Untuk beberapa waktu, tidak satu orang pun dari mereka yang ingin melepaskan sentuhan hangat itu.

Hingga akhirnya, Malam beralih untuk menyeka jejak air mata di pipi mulus sang pacar. Sambil melirik kediaman rumah yang sepi, Malam sengaja mencuri kesempatan untuk memberikan kecupan hangat di bibir Aurora. Dan sebagai penutup kesedihan sang pacar, Malam pun melanjutkan tradisi seperti biasa; menyerahkan bunga yang sedaritadi menunggu perhatian Aurora.

Selamat MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang