🔍. 755 words.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅡ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Langkah kakinya sengaja dihentak keras, menunjukkan kesal yang bergumul di dada hingga sakit terasa. Raut wajahnya kusut, mencerminkan lelah yang ia derita.Sebagai seorang anak laki-laki yang terlahir dari keluarga serba berkecukupan dan selalu mendapat apa yang ia inginkan, Jaehyun bukanlah tipe penyombong diri menyebalkan. Namun tidak kah pekerjaan ini terlalu tiba-tiba?
Tidak ada yang mengatakan padanya bahwa ia harus membawa minuman untuk para pekerja lain dan membuang semua limbah perusahaan ke tempat pembuangan sementara di gang kecil yang berjarak beberapa bangunan dari gedung perusahaan tempat ia bekerja sejak empat hari yang lalu.
Sebelum memutar arah, dihelanya napas panjang. Ia terlalu malas kembali.
Sungguh! Jaehyun tidak mengerti isi pikiran ayahnya sendiri. Pilihan yang kini ia miliki hanya dua, bekerja sebagai pegawai tidak tetap di perusahaan sang ayah atau segera menemukan pasangan.
Jaehyun tidak semenyedihkan itu dengan tidak memiliki pekerjaan atau pasangan seperti orang lain!
Atau mungkin ia bisa melarikan diri. Tapi itu bukan pilihan. Jaehyun masih butuh orang tuanya untuk bertahan hidup.
Jaehyun memutuskan untuk berhenti di sebuah toko roti, aroma hangat tepung dan mentega selalu bisa menenangkannya.
"Aku tidak meminta pai apel?"
"Ah, itu promo kami untuk hari ini,"
Jujur saja, Jaehyun tidak terlalu menyukai pai apel. Ia hanya menghabiskan sebuah hot cruss bun kemudian kembali sebentar ke tempat pembuangan tadi untuk membuang bungkusnya.
Namun tapaknya terhenti saat mendengar suara seperti isakan dari dalam lorong kecil itu. Ia ayun tungkainya lamban, mengikuti arah suara. Beberapa langkah dan Jaehyun dapat melihat siluet seseorang meringkuk dua meter dari dirinya berdiri.
"Ada orang disana?"
Entahlah, Jaehyun pun tidak tahu dari mana semua keberaniannya berasal. Ia hanya terlalu penasaran!
Tidak mendapat reaksi signifikan selain isak dari sosok di hadapannya, Jaehyun semakin mendekatkan diri. "Hei, kau baik-baik saja?"
Cukup dekat hingga sang lawan bicara meninggikan pandangan.
Tidak lagi memiliki rasa terancam yang tersisa, Jaehyun ikut merendahkan tubuhnya guna melihat dengan lebih dekat di antara pencahayaan terbatas.
Oh, seorang siswa sekolah menengah atas? Mata bulatnya sembab, bibir dan hidungnya memerah, sedang tubuhnya menggigil dimakan suhu malam hari Seoul.
Tanpa berpikir ulang, Jaehyun menyodorkan pai apel gratis tadi. "Ini dapat menghangatkanmu,"
Diterima dengan baik, Jaehyun hanya diam memperhatikan remaja itu melahapnya perlahan hingga remah terakhir.
"Aku Bong Jaehyun, aku bekerja di perusahaan di dekat sini. Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa datang kesana," tuturnya seraya menunjuk ke kiri, kemudian bangkit.
Persekian menit, Jaehyun mengurung niat berbalik pergi. Malah ia ulurkan tangannya, mengajak lawan bicara ikut bangkit.
"Tidak aman untuk tetap di lorong gelap ini,"
Sedikit ragu, sang remaja akhirnya menerima uluran. Jaehyun menarik lembut, khawatir yang lebih muda merasa sakit. Kini ia dapat membaca nama pengenal siswanya dengan jelas.
"Jibeom, aku bisa memanggilmu Jibeom?" Ditanggapi anggukan pelan.
Melihat wajah polos yang memucat itu sedekat ini. Ah, Jaehyun tidak tahu sebesar apa penyesalan yang ia tanggung jika tak ulurkan tangannya tadi.
Jaehyun tidak tahu apa yang ia coba lakukan. Kehidupannya pun sedang dimasa krisis. Namun tidak akan ia pikirkan, setidaknya untuk saat ini. Tak lagi peduli pada pertanyaan-pertanyaan yang menyerang pikirannya ketika temu pertama.
Ia akan selalu kembali diakhir hari, seakan menegaskan dimana tempat ia beristirahat. Entahlah, Jaehyun tak pernah tanyakan asal dan kehidupan sebelumnya si remaja bersurai lembut ini. Tapi ia tidak menemukan masalah soal itu. Jibeom bisa datang padanya kapan saja.
Jaehyun tidak pernah tahu siapa Jibeom untuk semesta.
Pun tidak pernah tahu siapa dirinya untuk Jibeom.
Yang ia tahu, ada rasa ringan dirasa Ketika si lesung pipi memilih menaruh percaya padanya.
Ketika melihat sang pemilik tangan yang digenggam menatap lamat dengan semua kelip redup yang ia tampung di iris gelap itu.
Ketika sepasang bibir pucat mengucap sepatah kata atau mengukir samar kurva bersama titik manis di pipi gembil untuknya.
Di hari lainnya, ketika Jibeom hanya meminta sepotong pai apel atau sekadar sedikit bantuan untuk tugas rumah di antara beban yang ia tanggung sebagai pekerja baru sebuah perusahaan.
Jaehyun dapat jalani dan nikmati harinya.
Bahkan mungkin ia bisa kabulkan kedua permintaan sang ayah suatu saat nanti.
ㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ끝.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤAku pikir akan lucu jika jibeom jadi remaja laki-laki dan selalu ikuti jaehyun yang memang memiliki gambaran pribadi konsumtif dan merupakan seorang anak pemilik perusahaan besar.
Ini muncul secara acak di otak ku saat kelas kimia berlangsung, setelah mononton video Golden Child in Dubai. Ketika jibeom bilang ia ditawari makanan kemudian menerimanya tanpa tahu apa itu dan ternyata adalah pai apel.
Ughh aku tidak melakukan revisi ulang, plot nya jadi berantakan sekali t___t tapi ya sudah lah :]
And oh! Come see me as jibeomberry on twitter <3
💌 with a billion of love, joozchan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pai Apel : Mostly Bongbeom lol
FanfictionTidak kah ia pernah katakan? Toko roti selalu punya apa yang kau butuhkan. Kim Jibeom of Golden Child oneshot complication (mostly with Bong Jaehyun). Please don't take this on serious way honey bun :d 💌 with a bunch of love, joozchan.