Halte

49 8 0
                                    

🔍. 1042 words.




Langit redup seakan berkata ia sedang tidak baik-baik saja. Ditumpahkan keluh kesah, menghujani setiap permukaan dengan tangisnya. Tidak apa-apa, Jaehyun suka. Lagipula siapa yang boleh melarang air mata?

Mata Jaehyun terus mengikuti guyuran air seakan melakukan itu dapat memperbaikinya, seperti yang ia harapkan sejak lama.

Jalanan sepi sekali, tidak seorangpun mau menemani langit? Biar Jaehyun saja. Ah, tidak. Ada lagi. Laki-laki berlesung pipi disebelah.

"Jangan hanya berdiri, halte ini bukan milik ku,"

Kira-kira itu yang laki-laki itu dengar sebelum menerima mantel pinjaman dari Jaehyun dengan wajah berseri. Jika ditelisik lagi, ia terasa telalu sempurna sebagai seorang makhluk bumi. Munafik jika Jaehyun bilang tidak terpana, benar?

"Terima kasih,"

Jaehyun hanya bergumam mengiyakan, tidak memiliki ketertarikan untuk melanjutkan percakapan. Namun sepertinya sang lawan bicara mengharapkan sebaliknya.

"Kau tidak ingin menanyakan namaku?"

"Ya," balas Jaehyun cepat, "dan aku tidak ingin kau menanyakan namaku,"

"Aku tidak perlu menanyakan sesuatu yang telah aku ketahui," alis si lesung bertaut bingung. "Manusia sangat aneh," gerutunya.

Mata bulatnya sibuk menatap Jaehyun hingga menimbulkan canggung, atau mungkin hanya Jaehyun yang rasakan. Hingga ia tak menyadari sebuah mobil tengah melaju cepat membelah aspal yang dipenuhi genangan air. Jika saja Jaehyun tidak menariknya menjauhi jalan, mungkin kini selain basah kuyup diguyur hujan, ia juga jadi berlumur air kubangan.

"Dia melanggar batas kecepatan!" Pekiknya heboh.

Jaehyun berdecak, "lalu? Apa pedulimu?"

Ekspresi bingung lagi-lagi ia tunjukkan. "Itu berbahaya! Roda mobilnya bisa saja tergelincir atau bahkan mencelakakan orang lain!"

"Orang itu hampir saja memandikanmu dengan kubangan lumpur. Berhenti memikirkan orang lain dan urus dirimu sendiri,"

Si lesung terdiam. Kini wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah berpikir, berusaha menerima ucapan Jaehyun.

"Pulang sana. Kau bisa ambil mantel itu," Jaehyun kembali mendudukkan diri, mengatakan itu sebagai kalimat lain dari 'mari tidak bertemu kembali'.

Kini wajahnya menunjukkan kecewa dan tidak bersemangat yang kentara. "Tapi ini tidak adil, harusnya aku yang jaga,"

Si lesung pipi ini terus saja sok dekat.

"Memangnya kau apa? Malaikat penjaga?"

Sang laki-laki lesung pipi bermanik sejernih liontin yang baru dipoles itu tidak bercanda saat membenarkan ucapan di halte. Ya, Jaehyun memang harus terkejut. Ia tidak berbohong.

Namun layak semesta memang tak memihak Jaehyun, permintaannya terus-terusan tertolak.

Seperti sekarang misalnya.

Suara gemericik air tangis langit yang teredam tembok tinggi dan kokoh samar-samar menyeruak masuk ke dalam indra pendengaran.

"Hujan lagi,"

Ini yang ketiga kali sejak si lesung pipi datang dan memohon diberi tempat tinggal.

"Pamanku mengusirku dari rumah,"

Alibinya saat itu. Kalau Jaehyun adalah sang paman, ia juga akan melakukannya. Si lesung ini terus saja bertingkah menyebalkan!

Namun itu jika Jaehyun adalah sang paman.

Pai Apel : Mostly Bongbeom lolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang