A String A Day

9 0 0
                                    

🔍. 1447 words.





Tidak banyak yang membuat Jibeom berpikir menjadi mahasiswa tahun kedua berbeda dengan kehidupan yang biasa ia jalani sebelumnya. Jibeom bukan seseorang yang akan menghabiskan malam di luar unit kamar sewa, juga bukan seseorang yang bergaul dengan mudah. Tentu Jibeom memiliki beberapa teman dari fakultas yang sama, menjaga diri tetap berada di radar zona nyaman.

Jibeom menikmati dunianya.

Ia sudah memiliki kehidupan ini di pikiran sejak menginjak jenjang menengah atas.

Jibeom merasa nyaman.

Pun orang-orang mengenal Jibeom sebagai seseorang yang mudah disukai, tidak menaruh banyak pikiran buruk akan kebiasaan menutup dirinya.

Tapaknya berada di anak tangga berlapis karpet beludru merah yang tebal ketika bunyi yang orang sebut sebagai musik menyentuh gendang telinga, menghentikan langkah yang ia buat menuju pintu besar ruang auditorium utama.

Donghyun, teman satu fakultas juga teman masa kecil Jibeom, meminta tolong padanya untuk mengambil beberapa buku perpustakaan yang tak sengaja Donghyun tinggalkan di ruang tunggu di belakang layar auditorium ketika menemui salah satu temannya dari fakultas sebelah. Donghyun tidak bisa mengambilnya sendiri karena miliki kelas.

Tak terasa ia telah berdiam selama hampir sepuluh menit, membiarkan diri dilelap alunan musik. Tubuhnya berbalik, senada dengan rasa penasaran yang ia miliki, menemukan seorang pemuda bersurai pirang berdiri di atas panggung auditorium.

Wajahnya tidak dapat Jibeom lihat dengan jelas karena miopia yang ia derita. Pemuda itu mengenakan kemeja denim dengan lengan yang digulung hingga menyentuh siku dan celana putih, kontras dengan warna gelap denimnya. Jibeom dapat merasakan kepercayaan dirinya melalui cara ia berdiri. Namun yang paling menarik bagi Jibeom adalah jemarinya.

Jemari itu mahir sekali memainkan senar alat musik yang Jibeom kenal sebagai biola. Bow yang dikendalikan oleh tangan lain pemuda itu terlihat ringan dan lembut menyentuh senar-senar biola, menghasilkan alunan nada indah mengisi auditorium.

Jibeom tidak tahu sejak kapan ia memiliki tubuhnya menduduki salah satu bangku teratas auditorium, buku-buku yang Donghyun titipkan kini berada di bangku sebelah, terabaikan.

Napas panjang Jibeom tarik beberapa kali, diikuti tarikan kurva pada bibir tipisnya. Aroma khas auditorium yang terkadang menyesakkan memasuki indra penciuman.

Tidak terasa sang pemuda mengakhiri permainannya, membawa Jibeom tanpa sadar berdiri dan memberi tepuk tangan pelan, tetapi masih dapat terdengar jelas menggema ke seluruh sudut auditorium yang sunyi. Telapaknya berhenti ketika menyadari beberapa pasang mata memperhatikannya. Buru-buru ia meraih buku Donghyun seraya bergumam maaf kemudian meninggalkan ruangan.

Sejak itu, Jibeom jadi sering mengunjungi ruang auditorium. Ia akan temukan pemuda pirang memainkan biolanya di atas panggung jika sedang beruntung. Menghasilkan kerut pada kening Donghyun, mengenal sang kelahiran Februari sebagai seseorang yang tidak terlalu menyukai kegiatan tidak familiar.

"Kau tidak pulang? Bukankah kau tidak punya kelas lain lagi hari ini?" Pertanyaan Donghyun lontarkan ketika melihatnya berjalan berlawanan arah dengan tempat kendaraan mereka diparkirkan.

Ia lakukan geleng, "Aku ingin ke auditorium dulu,"

"Lagi?"

"Eum. Kau ingin ikut?"

"Maaf, Beom, aku ada kelas setelah ini," Sesal Donghyun. "ada baiknya kalau kau tanyakan langsung padanya hari apa saja ia bermain,"

Donghyun tahu betul Jibeom tak pernah temui nyaman berada di tempat yang bukan radarnya tanpa seseorang yang ia kenal, bertanya langsung soal jadwal akan membuat Jibeom merasa lebih baik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pai Apel : Mostly Bongbeom lolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang