Bab 34

258 34 156
                                    

"Minggu ini kita berangkat, gue suruh mbak Tita buat ngurus visa lo dulu." Sairish membuka suara setelah menyelesaikan sarapannya. Mikayla yang duduk di sebelahnya langsung menghentikan suapan bubur yang hendak masuk ke mulutnya itu.

"Ngga bisa di tunda dulu? Gue mau nunggu Jayden balik." Mikayla menjawab pelan, matanya tidak berani menatap langsung ke arah Sairish. Dia hanya bisa menunduk sambil memainkan sendok yang berada di mangkok buburnya.

"Ngga bisa!" Nada sinis Sairish tidak bisa ditutupi lagi.

"Kali ini aja, Rish." Mikayla mengangkat wajahnya, menatap wajah sepupunya yang sama sekali tidak berniat meladeni perkataannya itu. "Ini yang terakhir, gue janji ini yang terakhir." Mikayla menyeka sudut matanya yang tiba-tiba berair, "ijinin anak gue ketemu ayahnya untuk terakhir kali."

"Ck, berhenti bawa-bawa ponakan gue, tolol." Sairish mendengus kesal. Gadis itu meraih tas sekolahnya, "dan berhenti keluarin air mata lo buat Jayden. Kalo ngga, gue bikin anak lo jadi yatim sekalian." Setelah mengatakan itu, Sairish bangkit meninggalkan Mikayla sendirian di ruang makan.

☘️☘️☘️

Adena terlihat santai memasuki gerbang sekolah, mengibas pelan rambut ikal sepunggung hasil nyalon bersama maminya kemarin. Gadis itu terlihat cantik dengan bando putih yang menghiasi mahkotanya.

Sampai di koridor kelas, tepat di depan mading. Terlihat kerumunan siswa-siswi yang berebut ingin maju paling depan, saling dorong satu sama lain. 'Apa ada pengumuman penting?' pikir Adena. Disana dia melihat Rara yang juga sedang bersandar di tembok sambil membekap mulutnya menangis. Lagi-lagi Adena berpikir positif, 'mungkin Rara dapat beasiswa ke luar negeri'. Adena bergegas mendekati Rara.

"Rara, sweety ...." Adena tersenyum lebar sambil membentangkan tangan meminta pelukan, tapi yang gadis itu dapat adalah tangisan Rara yang semakin histeris.

Semua murid memandang Adena dan Rara bergantian, ada yang langsung mencibir dan mencemooh kedua gadis itu. Adena yang tidak tau apa-apa tampak kebingungan. Dia mengguncang bahu Rara meminta penjelasan, tapi tangisan Rara semakin menjadi. Gadis itu memeluk erat Adena sambil berbisik lirih.

"Mi-Mika, Mika, Den."

Belum sempat Adena menyahut, salah satu siswi malah berbicara keras menyakiti gendang telinga Adena yang mendengarnya.

"Oh, jadi ini temennya si lonte itu kan? Temen lo yang pelacur itu kemana? Lagi sibuk nyari orderan ya?" siswi itu tersenyum meremehkan ke arah Adena.

"Pasti tahun baru kemarin laku keras dia. Body nya kan lumayan buat dinikmati om-om gendut." Satu lagi temannya ikut menyahut.

Adena yang benar-benar kebingungan dan sedikit marah mendengar perkataan dua siswi itu melepas pelukan Rara. Dia membalik badannya menatap dua siswi yang berbicara barusan.

"Lo ngomong apa? Bisa tolong di perjelas? Omongan lo kayak anjing yang menggonggong, ngga jelas."

"Lo ... dasar sampah. Pura-pura ngga tau, sok polos. Kalian berempat emang cocok sih bersama, polos-polos tapi ternyata pelacur kecil." siswi itu kembali mengatai Adena dengan kata-kata kasar membuat wajah gadis itu merah padam.

"Brengsek!"

Adena yang ingin mendekati siswi itu langsung di tahan oleh Rara, "Aden,  jangan." Air mata kembali turun di pelupuk mata gadis rapuh itu.

Adena berdecak kesal, "ini kenapa sih, Ra? Bisa tolong kasih tau gue? Gue malas main teka-teki pagi-pagi gini, mood gue lagi jelek."

Rara tidak bersuara, tapi tangannya menunjuk ke belakang punggung Adena. Gadis itu reflek menoleh, dibalik kaca mading itu, terpampang foto gadis yang memperlihatkan punggung telanjang yang sedang duduk di atas pangkuan seorang laki-laki, foto gadis yang sedang di pantry yang hanya menggunakan lingerie, serta puluhan foto lain yang tidak kalah senonohnya. Walaupun sebagian foto itu tidak memperlihatkan wajah gadis itu secara terang-terangan, tapi siapapun akan tau kalau itu wajah Mikayla. Dan yang membuat Adena benar-benar marah adalah keterangan di bawah foto-foto tersebut, 'pelacur kecil JIS.'

Hallo, MikaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang