DI ARAH barat laut, di suatu lereng, sebuah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda melaju kencang melewati perbukitan. Kabut mengambang di lembah-lembah, lalu melambung lesu ke puncak bukit, bagai arwah penasaran yang tak kunjung menemukan istirahat.
Sering kali roda kereta berderit, setiap kali melewati jalanan berlumpur. Hujan deras terus mengguyur sepanjang perjalanan, seolah ingin merampas semua vitalitas di bumi.
Duduk di kursi penumpang, seorang pemuda berseragam hitam dengan pangkat-pangkat di pundaknya dan beberapa tanda bintang di dadanya, sedang menahan tubuh seorang gadis yang bersandar di bahunya.
Darah merah menodai gaun pengantinnya, tentu saja kini menghitam setelah kering. Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat, dan hanya bernapas berat seperti boneka marionette yang rusak, membiarkan kereta bergerak cepat, mengguncang tubuhnya naik turun hingga sesekali membentur dinding.
Sampai tirai jendela dibuka, menyibak lapisan tipis kain sutra merah, pemuda yang menjadi tempat gadis itu bersandar dengan cepat menjulurkan kepalanya ke luar jendela.
"Kusir, butuh waktu berapa lama lagi supaya bisa sampai ke Bucharest?!" pria itu membentak dengan suara marah.
Meskipun dia adalah komandan ksatria, gaya bicaranya yang sopan telah hilang. Mungkin karena sudah tiga kali kereta kuda itu berhenti dan satu kali mereka menyeret kereta berputar arah, karena seluruh jalur ditutup akibat hujan badai malam itu. Seakan-akan ingin berkata bahwa kereta itu takkan bisa sampai ke tujuan.
Sang kusir menoleh ke belakang sebentar, sesekali mendengus hanya untuk memeriksa kondisi. Tampaknya dia sedang berpikir bagaimana menjawab pertanyaan pria pemarah itu.
"Kira-kira satu jam lagi tuan," seru sang kusir dari atas kursinya.
Setelah terdiam beberapa saat, tampaknya pemuda itu sudah tidak sabar. Mulutnya mengeluarkan suara bentakan keras.
"Astaga, lama sekali! Bergerak lebih cepat!" protesnya selantang mungkin dengan aksen yang diseret dan nada penuh ancaman, membuat gadis yang terpanggul di bahunya tanpa diduga langsung terbangun.
"Princess Bonita, apakah anda sudah merasa lebih baik?"
Lelaki berpakaian militer itu menyipitkan matanya, mengamati ekspresi gadis itu lekat-lekat. Kali ini suaranya berubah menjadi lebih lembut. Tidak lagi kasar dan bernada tinggi, karena pribadi yang ditanyainya kini adalah seorang putri kerajaan.
"Uugh... aaah!"
Gadis itu membuka kelopak matanya, pada akhirnya ia berhasil membuka suara.
Namun, setelah berbaring sekian lama, pandangannya masih remang-remang. Tetapi setelah ia mengerjap-ngerjapkan matanya kembali, semuanya mulai terlihat jelas. Seketika itu juga wajah gadis itu pucat pasi dan dia terkesiap.
"Ini dimana? Dan siapa kamu?!"
Bahkan di tengah pusing dan mual, matanya langsung menangkap sosok lelaki berwajah keras dan kaku, mengenakan pakaian serba hitam. Seolah kerasukan, pikiran yang muncul di kepalanya mengalir keluar dari mulutnya tanpa disaring.
"Apakah kau malaikat pencabut nyawa? Jika iya, apa itu artinya aku sudah mati?"
Kebingungan menguar dari diri Bonita. Sebelumnya, yang dia ingat bahwa sakit jantungnya kambuh. Begitu sakitnya hingga dia mengira dia akan mati. Dan dengan melihat sosok lelaki berpakaian serba hitam di tengah pencahayaan yang terbatas, secara impulsif dia bersikap delusional.
・:*✿*:・:*✿*:・:*✿*:・:*✿*:・:*✿*:・
Rabu, 2 Febuari 2022
♡Estefania Graciela♡・:*✿*:・:*✿*:・:*✿*:・:*✿*:・:*✿*:・
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS BLOODY BRIDE [REVISI]
VampirosShe wore a wedding gown, but she felt like she was going to her funeral. Tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang ayah, membuat Bonita Vladimir terbuai oleh kebaikan dari pria yang mengulurkan tangan kepadanya, yang rupanya adalah tunangannya sendiri...