🌠vote juseo🌠
Setelah suasana kembali kondusif, Olivia kembali duduk di atas bench kayu jati yang diletakkan di dekat jendela besar kamarnya. Tirai tipis melambai pelan tertiup udara dari AC sentral yang tersembunyi di langit-langit, membuat nuansa kamar tetap elegan dan nyaman.
Dengan suara agak manja, Olivia membuka percakapan, “Mamah kan bisa nyuruh papah beli apartemen baru aja, terus mamah ikut aku deh tinggal bareng di sana... Jadi ada yang ngejagain aku.” Ia tersenyum menggoda, mengangkat kedua alisnya berkali-kali sambil memainkan ujung rambutnya.
Andini yang sedang menuangkan air mineral ke dalam gelas kristal di meja nakas hanya menatap sekilas. Sabar—itu mantra dalam hatinya sekarang. Ia tahu betul, anak gadis satu ini kalau ditentang malah makin menjadi. Murni warisan dari sang ayah: wajah menawan nilai plus, karakter keras kepala nilai minus.
Andini meletakkan gelas itu, lalu berjalan mendekati Olivia sambil menghela napas dalam. “Sayang...” Ia berlutut di hadapan Olivia, menggenggam kedua tangan anaknya erat. “Mamah gak bisa semudah itu ninggalin papah. Papah kamu butuh mamah juga di sini...”
Wajah Olivia mulai merengut, tapi belum sempat protes, Andini melanjutkan dengan nada yang lebih dalam, “Sekarang mamah ikut kamu... tapi kamu siap gak kalau posisi mamah diambil orang lain seperti dulu?”
Olivia tersentak. Ia mengedip beberapa kali, lalu menatap jauh ke arah jendela. Angin dari celah tirai memainkan helaian rambutnya. Bayangan wajah sang papah yang terlalu tampan dan mapan langsung terlintas di benaknya. Banyak pelakor berkeliaran. Tidak. Tidak boleh terulang.
Ia mengangguk kecil sambil berdehem, “Yaudah... untuk kali ini Oliv ngalah.”
Andini tersenyum, berdiri, lalu mencubit pelan pipi Olivia. “Pintar...”
Tapi jelas sekali Olivia kesal. Baru kali ini permintaannya tidak dikabulkan. Ia mengangkat bantal kecil dan memeluknya erat sambil mendengus pelan. Beberapa saat kemudian, ia menoleh, memecah hening. “Cewe apa cowo?”
“Dua cowok. Keponakan paman kamu,” jawab Andini cepat, kembali sibuk dengan lipatan baju.
Olivia langsung menegakkan badan. “Lahhh parah dong mah!”
“Tenang, mereka anak baik-baik. Beda sama papah kamu dan paman Prawira—”
Olivia langsung tertawa geli. Melihat mamahnya dalam mode ‘curhat nyindir’ soal masa lalu itu selalu menghibur. Seringkali setiap kumpul keluarga, Andini dan Tante Inggrit saling adu penyesalan kenapa bisa terjebak menikahi dua berandalan tampan yang dulunya kelihatan nggak punya masa depan.
Untungnya tampang dan harta menyelamatkan citra. Tapi kelakuan? Masih ‘lucu’ hingga sekarang.
“Katanya sih mereka sering bawa nama baik sekolah,” lanjut Andini sambil melipat kemeja dengan gerakan anggun. Tapi ya... hanya itu yang andini tau tentang mereka.
Andini menghela napas panjang, lalu berdiri. “Udah ya, selesain beres-beresnya. Mamah mau istirahat dulu.”
“Iya... iya, Mah...” jawab Olivia dengan nada melas khasnya, sambil kembali memindahkan satu per satu barang ke koper besar beroda titanium.
Andini melangkah keluar kamar dengan anggun, menyusuri lorong yang lantainya dilapisi karpet Turki bermotif lembut. Sementara Olivia duduk bersila di tengah kamar, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Ia menggumam lirih, “Gila ya, kenapa sih mamah sama papah gampang banget percaya sama dua orang asing buat jagain aku…”
Sempat termenung, Olivia lalu berdiri, mengambil tablet digitalnya, mengecek ulang list barang yang harus dibawa. “Mereka dibilangnya sepupu, tapi silsilah aja gak nyambung... dan parahnya, gue belum pernah ketemu.”
Ia menatap koper besar di depannya. Lalu mengelus dadanya. “It’s okay, Olivia. Lo harus sabar dan mengalah untuk kali ini.”

KAMU SEDANG MEMBACA
JAVERO MAXIME - Ongoing
Fiksi Penggemar"Kau menolak, Namun aku takkan berhenti- Karena pada akhirnya, Kamu yang akan jatuh pada ku, walau dengan keras kau menolak" ⚠️ Perhatian⚠️ Akan ada perlakuan tidak disenonoh, kekerasan dan tindakan kriminal.