KAMIS, 10 MEI 2018 – YOGA PUTRA WICAKSANA
BANDARA SOEKARNO HATTA TERMINAL 3
Bersama dengan Stephen, Yoga akhirnya memutuskan untuk berangkat ke bandara siang itu juga. Dengan menggunakan kecepatan tinggi sebagai pengemudi, dirinya mencoba untuk melawan waktu. Jalan tak begitu lengang, memberikan sedikit hambatan tetapi tak membuat Yoga melambatkan lajunya sedang temannya hanya dapat menatap jalanan dengan wajah kaku pucat dengan keringat dingin. Tangan kirinya mencengkeram erat hand grip mobil. Sesekali terdengar nada tinggi mengomentari cara Yoga menyetir ataupun memberikan perintah tak berguna kepada para mobil untuk segera menyingkir.
Dalam hati, Stephen terus berkomat-kamit. Mulai mengucapkan semua doa yang ia tau. Jika Anne terbang ke Belanda, dirinya tidak ingin menyusul dengan cara seperti ini. Apalagi tujuan akhirnya ialah ke akhirat, bukanlah ke negara yang sama.
Tiga menit menaiki wahana roller coaster terasa seperti lima belas menit lamanya apalagi bersama dengan Yoga yang melaju selama satu jam lamanya. Begitu sampai pada pintu keberangkatan bandara, Yoga segera meninggalkan Stephen yang masih berada di dalam mobil dengan kaki yang lemas.
"Kalau bukan karena Anne, aku tidak akan pernah melihat Yoga segila itu menyetir mobil," ucapnya sebelum akhirnya ia memindahkan mobil ke tempat parkir.
Yoga mulai berlari melewati kerumunan penumpang yang sedang mengantri untuk pengecekan bagasi termasuk para security yang sedang sibuk bertugas. Untungnya dia punya teman yang bekerja di dalam bandara, yang biasa mengantarnya masuk ke dalam pesawat lebih cepat seperti layaknya seorang VIP.
Sempat diperhatikannya papan berisikan jadwal penerbangan dan tertera bahwa pesawat milik Anne telah bertuliskan status gate closed. Dengan berharap cemas, Yoga berlari semakin kencang menuju gate nomor tiga. Luasnya bandara internasional Soekarno Hatta tak membuat dirinya melambat. Sambil sesekali memperhatikan wajah-wajah asing para penumpang, Yoga masih berharap untuk dapat menemukan wajah yang familiar di antaranya.
Sudah kosong. Dia tidak ada disini.
Serunya dalam benak saat didapati ruang tunggu yang telah kosong. Hanya ada beberapa penumpang yang duduk disitu karena padatnya ruang tunggu yang lain sehingga tempat yang kosong pun menjadi pilihan. Dapat dipastikan bahwa penumpang itu memiliki tujuan penerbangan yang berbeda dengan Anne karena mereka yang terlihat tak terburu.
Dihampirinya seorang petugas pria yang masih berjaga di dekat pintu, bersiap-siap untuk pergi setelah mengunci pintu gate.
"Tolong buka. Saya mau masuk," pinta Yoga dengan memelas pada sang petugas tetapi jawabnya, "Maaf pak. Gate sudah tutup. Pesawat sudah terbang."
"Tapi ada keluarga saya di dalam. Ada istri saya. . ." paksanya. Ia mencoba menggunakan berbagai macam alasan yang terpikir dalam benak tetapi tak cukup kuat untuk mengubah keputusan dari sang petugas karena jawabannya telah mutlak.
"Maaf pak," ucapnya sekali lagi lalu petugas itu berjalan pergi meninggalkannya. Beberapa pasang mata memperhatikannya tetapi tak ada satupun yang tergerak untuk membantu.
Masih di depan pintu gerbang, Yoga mulai terisak. Dia memukulkan tinjunya pada pintu kaca yang tak bergeming sama sekali. Kaki yang lemas karena berlari membuat tubuhnya tersungkur.
Stephen yang berhasil menyusul dirinya hanya dapat merangkul pundak sang teman sambil memberikan beberapa tepukan hangat. Ia juga sudah mencari kesana kemari tetapi hasilnya tetap nihil. Hanya satu kalimat yang terlontar dari dalam bibirnya, "Ayo kita pulang."
DI SAAT YANG BERSAMAAN
Sambil menunggu pengumuman selanjutnya dari petugas bandara, secangkir kopi yang baru saja dibeli diseruputnya pelan-pelan karena masih terasa panas. Seperti yang dilakukan kebanyakan pria pada umumnya, ia juga mengangkat salah satu kakinya bertumpu pada lutut sedang kaki yang terpijak pada lantai mulai menghentak pelan mengikuti irama lagu yang terputar oleh sang bartender.
Kafe yang terbuka mempermudah dirinya untuk mengamati keadaan sekitar termasuk mengawasi seorang pria yang baru saja berlari kencang melewati tempatnya beristirahat sejenak. Senyum miring tersungging dan terlihat sarkastik.
"Sayang sekali. Padahal sebentar lagi bisa bertemu," ucapnya pada diri sendiri sambil menyeruput kembali kopi pahitnya. "Tapi dengan begini akan menjadi lebih menarik."
Karena letak kafe yang berseberangan dengan gate nomor tiga, dirinya masih bisa menikmati sedikit drama dari pria yang membuat arah pandangnya tak kunjung lepas juga.
"Sedih sih tapi mau bagaimana lagi. Ingin membantu juga masih belum bisa," komentarnya dari jarak jauh.
Tiba-tiba saja pengumuman kembali berbunyi, memberikan informasi kepada para penumpang yang akan terbang selanjutnya. "Panggilan kepada seluruh penumpang dengan tujuan Los Angeles dipersilahkan untuk naik melalui gate nomor dua. Mohon persiapkan. . ."
"Okay. Waktunya berangkat." Ia segera menghabiskan kopinya begitu mendengar suara yang tersiar. Dipanggulnya ransel hitam pada pundak yang sedari tadi tergeletak di dekat kaki lalu dirinya berjalan dengan mantap bersamaan dengan para penumpang lainnya.
"Let's play hide and seek. A little game won't hurt you."
JUMAT, 11 MEI 2018 - AUDRIANNER UTAMI
AMSTERDAM AIRPORT SCHIPHOL
Sesampainya di bandara tujuan, Anne segera mengeluarkan jaket dari dalam koper kabin untuk menghadapi cuaca dingin negara yang baru pertama kali ia kunjungi ini. Meskipun salju sudah tak nampak dan angin yang berhembus pada bulan itu tidaklah sedingin seperti pada bulan Januari, Anne tetap harus mempersiapkan dirinya dalam menghadapi hal terbaik maupun terburuk yang akan terjadi.
Untuk yang terakhir kalinya ia menatap jendela pesawat yang menampakkan pemandangan teramat asing bagi dirinya lalu ia berseru pada dirinya sendiri, "Semangat! Ayo semangat!"
Begitu keluar dari dalam pesawat, Anne mengikuti para penumpang yang mungkin sudah beberapa kali datang ke negara ini sambil sesekali membaca arah petunjuk yang tertulis dalam bahasa asing juga tetapi untungnya terdapat bahasa Inggris yang mempermudah dirinya.
Karena garbarata pesawat yang langsung terhubung dengan ruang tunggu penumpang, Anne dapat mencuci mata sejenak dengan ragamnya restoran maupun toko yang ada di dalam bandara. Hal itu membuatnya menjadi semakin tidak sabar untuk menjelajah lebih negara ini.
Hari esok mulai terpikir tetapi ada pula rasa gugup dalam diri karena suasana yang tidak familiar. Takut jika terjadi apa-apa dengan dirinya sendiri. Tidak ada teman, tidak ada keluarga, tidak ada satu orangpun yang dikenalnya disini.
Mungkin ini yang dirasakan Rio saat datang pertama kali ke Amerika. Apalagi waktu itu usianya jauh lebih muda dibandingkan diriku sekarang ini.
Setelah mengambil bagasi, Anne pun keluar gedung untuk mencari taksi. Sementara ini ia hanya memegang satu alamat saja yang akan menjadi tempat tinggalnya dalam beberapa hari ke depan sebelum ia benar-benar menjalankan rencana semulanya.
"Hoop op het beste (hope for the best)."
PASSING BY - FIN.
Chapter selanjutnya bisa langsung baca di Vol. 2 - Edelweiss & Mustang Merah
Thankyou & Happy Reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
[FIN] Passing By
Romance[FIN] Menikah? Hidup bersama dengannya? Kenal dirinya saja tidak. . . Tapi untung saja ada 'Perjanjian Pernikahan' yang mengikat kami berdua selama tiga tahun. Cukup bertahan untuk menjaga perasaan selama tiga tahun, pasti mudah kan? ...