SELASA, 27 MARET 2018 – YOGA PUTRA WICAKSANA
Apakah kau pernah merasa siap akan pertemuan terakhirmu bersama dengan seseorang? Apakah kau dapat memprediksi kapan hal itu akan terjadi? Seperti apa perasaan yang akan timbul di saat itu? Tak menyangka siapa yang akan kau hadapi?
Dari seluruh pertanyaan itu, hanya satu yang aku yakini yaitu aku tidak akan pernah siap jika ini terjadi.
Sudah beberapa jam lamanya Anne berada di dalam kamar sedang Yoga yang berada di luar menunggu dengan gelisah sambil menonton TV. Tentu pikirannya tidak dapat fokus.
Padahal jam makan malam sudah lewat tetapi piring milik Anne yang masih ada di atas meja masih tak tersentuh. Sesekali kepalanya menengok, mengamati pintu kamar Anne yang terus tertutup rapat. Kaki kirinya menghentak tak sabaran hingga ia putuskan untuk mencoba mengintip.
"Masuk." Suara seorang wanita terdengar samar membalas dari dalam kamarnya. Pintu yang terdorong ke dalam secara perlahan memperlihatkan identitas sang pengetuk yang tak lain adalah Yoga.
"Apakah aku mengganggu?" tanya Yoga dengan kepala yang menengok ke dalam.
"Tidak juga."
Sambil mendengarkan, ia menatap Anne yang sedang sibuk dengan banyaknya pakaian yang menumpuk di atas ranjang. Dengan lincah, wanita itu melipat satu per satu pakaiannya.
"Kenapa ada koper besar?" tanya Yoga lagi saat menatap sebuah koper yang terbuka, terletak di sudut kamar Anne. Masih belum terisi oleh satu pakaianpun tapi Yoga tau tumpukan baju yang telah terlipat akan masuk ke dalam sana.
"Aku mulai menyicil."
"Untuk?" Dahi Yoga mulai berkerut, tidak paham betul dengan topik yang sedang mereka bahas.
"Pindah."
"Pindah?"
"Iya."
"Ara yang menyuruh?" tanya Yoga dengan curiga.
"Ini keinginanku sendiri. Aku ingin pindah sebelum bercerai."
"Kenapa?"
"Well, cepat atau lambat aku pasti akan pindah dari tempat ini. Dan aku memilih cepat. Semua sudah tau kalau kita akan bercerai dan mereka tau kalau aku menyukai orang lain jadi. . .," Anne menaikkan kedua bahunya, "sepertinya tidak pantas jika aku berlama-lama tinggal disini."
Yoga tak dapat membalas karena alasan yang disampaikan Anne memang masuk akal. Perasaan wanita itupun tersampaikan dengan jelas.
Jadi dia tidak pernah menyukaiku? Benar-benar tidak ada tempat lagi untukku? Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Memaksanya untuk berubah pikiran? Menyanggahnya? Tetap mencintainya?
Tapi aku sebelumnya memang telah berjanji untuk selalu mendukungnya jika hal ini terjadi. Dan kali ini memang terjadi.
". . .ga, Yoga." Suara Anne yang sayup-sayup mulai terdengar semakin jelas. Kedua mata pria itu berkedip, terhenti dari lamunan. "Apa kau sakit?" Wanita itu beranjak dari ranjang lalu berjalan mendekati Yoga. Sambil memasang wajah khawatirnya, ia menempelkan tangan pada dahi sang suami.
"Tidak."
Apa benar dia tidak mencintaiku? Jika itu benar, mengapa sirat wajahnya nampak berbeda?
Kedua mata Yoga tertuju pada manik-manik cantik milik Anne. Kata orang, mata adalah jendela hati. Apa yang terpancar di dalamnya merupakan jati diri orang tersebut. Dengan menatapnya seperti itu, Yoga mencoba untuk mencari tau apa yang Anne simpan dalam hati.
Sadarlah Yoga. Berhenti menyanggah.
Lebih baik untuk tidak berharap lebih. Itulah yang hatinya coba sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[FIN] Passing By
Romance[FIN] Menikah? Hidup bersama dengannya? Kenal dirinya saja tidak. . . Tapi untung saja ada 'Perjanjian Pernikahan' yang mengikat kami berdua selama tiga tahun. Cukup bertahan untuk menjaga perasaan selama tiga tahun, pasti mudah kan? ...