22| Penyelamat

110 23 2
                                    

Bian mendengus kasar tatkala satu kelompok dengan Gema. Meksipun di kelompok ada Helen dan Kania, tapi tetap saja, kenapa harus seorang Gema yang menjadi ketua kelompoknya? Kenapa bukan murid laki-laki yang lain saja?

”Untuk kelompok Gema dan Dania, tugas kalian mencari air dan ranting di hutan untuk membuat api unggun. Tapi gak usah jauh-jauh, paham?” Instruksi Pak Tatang dan mereka mengangguk.

”Sebelum matahari terbenam, kalian harus udah ada di sini. Jangan ada yang berpencar dan tetep sama kelompoknya,”tambah Pak Tatang.

Setelah selesai bicara, kedua kelompok itu segera pergi berjalan menyusuri hutan untuk mencari air dan ranting kayu seperti yang di perintahkan pak Tatang.

”Eh, Gem. Kayaknya yang cari air kelompok lo aja deh, soalnya anggotanya punya postur kuli semua. Beda sama kelompok gue, mereka lebih cocok sama tugas yang ringan aja.” Bian mengepalkan tangan, andai tidak sedang di hutan, ia sudah menghajar Dania sampai puas. Lagian Bian juga tahu tempat, hutan itu tempat berkumpulnya makhluk-makhluk, nanti kalau mereka lihat Bian berkelahi, yang ada Bian ketempelan lagi. Duh, amit-amit.

”Lah, kenapa gak lo aja?” Timpal Gema yang berkaca pinggang memperhatikan tingkah songong Dania.

”Lo gak lihat? Kelompok gue isinya cewek semua karena kita kelompok terakhir. Nah lo sebagai ketua kelompok sekaligus laki-laki satu-satunya di sini, lo harus ngalah sama kita.”Dania bersikeras. Membuat Bian tak ada pilihan lain selain pasrah daripada masalahnya tambah panjang.

”Udah, Ma. Gapapa kita ambil air aja, daripada ribut sama nenek lampir,” bisik Bian dan Gema akhirnya mengangguk.

”Heh nenek sihir, yaudah lo pergi sono ambil ranting yang banyak. Sampe dapetnya seuprit doang, gue panggilin babi hutan biar gigit lo.” Dania menghentak kakinya sebelum pergi berpisah dengan kelompok Gema.

”Oke, guys. Karena gue ketuanya dan gua yang paham sama rutenya, kalian ikutin gue aja. Jangan sampe ada yang misah, paham?” enam orang di sana mengangguk dan mereka mengekori Gema yang berjalan di depan sebagai petunjuk jalan.

Sementara Si Bian yang sedari tadi letoi seperti kembang goyang, berada di barisan paling belakang karena dia malas jalan terburu-buru.

”Untuk para bestai di belakang gue, sembari jalan, gue absen ya, buat mastiin kalo masih lengkap.” Mereka semua serentak berdehem.

”Helen?”

”Hadir.”

”Kania?”

”Ada.”

”Nanda?”

”Ada!”

”Fika?”

”Yo, gue ada.”

”Tamara?”

”Saya di sini pak ketua.”

”Bian?”

”Hm ...”

Gema menoleh kebelakang, memastikan kalau Bian masih ada di barisan dan tidak menghilang.

”Bian, letoy banget. Mau gue gendong?” sontak penuturan Gema barusan langsung mengundang kehebohan anak lainnya.

”Cie ...” mereka serentak menggoda Bian di belakang sana.

”Gema! Lo fokus jalan aja somplak, awas lo ya godain gue mulu. Gue panggilin babi hutan!” gertak Bian yang membuat anak-anak di sana tertawa cekikikan.

Selama perjalanan, tidak ada perbincangan di antara mereka. Mereka fokus memperhatikan langkah mereka di tanah yang mereka injak, berbeda dengan Bian. Gadis itu berulang kali mengembuskan napas kasar karena tak kunjung sampai.

Love Revolution✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang