"Kamu masuk ke pelajaran tambahan cendikiawan?" tanya seseorang, yang menurut ingatanku, aku paling benci dengan suara ini.
"Kamu ini benar-benar nggak tahu ada kata sopan santun di dunia ini ya?" Seruku kesal. "Selalu masuk kamar sembarangan! Ini kamar perempuan! Aku juga punya teman sekamar tau!"
"Halah! Nggak tertarik lihat tubuhmu yang datar itu! Dan apa tadi kamu bilang? Teman sekamarmu? Dua temanmu itu? Mereka akan pingsan saking senengnya mendapat kunjungan cowok tampan di kamar mereka."
Rasanya perutku langsung mual mendengar perkataannya yang terlalu gila pesona.
"Kamu pasti belum dengar berita kalau teman sekamarmu itu tergila-gila dengan ketampananku?" tanyanya. Lama-lama aku bisa pingsan mendengar kalimatnya yang pe-denya ketinggian. Tapi ada benarnya juga si tentang kedua teman kamarku itu.
"Sudah bicaranya? Pergi sana! Mataku sakit lihat kamu di sini!" Usirku.
"Kamu beneran ikut cendikiawan?" Bukannya menanggapi permintaanku dia malah memberiku pertanyaan.
"Kalau iya memangnya kenapa?"
"Kamu lebih memilih kelompok kutubuku itu daripada kelompok pemimpin?"
"Hah?! Tidak! Aku tetap ikut pelajaran tambahan kepemimpinan."
"Aduh! Kamu ini bodohnya jangan dipupuk! Pelajaran tambahan kepemimpinan sama cendikiawan itu sama harinya! Kamu mau belah diri jadi dua?"
Aku menepuk dahi pelan. Ah iya, aku baru sadar dan mengingat-ngingat memori semalam. Aku jadi mengerti ucapan Bu Kim Yeri. Aku harus memilih salah satu pelajaran tambahan.
"Aku akan mengajarimu menangkap bebek-bebek itu, jadi kamu harus datang di hadapanku minggu depan. Ingat kita itu calon pemimpin bukan si kutubuku!" Serunya lalu berbalik badan meninggalkanku sendirian di kamar.
Memangnya sepenting itukah baginya aku mengambil pelajaran tambahan yang mana? Sikapnya yang ingin membantuku membuatku mencurigainya. Si biang rusuh ini mana mungkin akan mengajariku dengan sukarela, pasti ada maksud tersembunyi.
Tapi untuk sekarang aku harus memikirkan baik-baik pelajaran tambahan mana yang akan aku pilih. Sendari dulu aku sangat ingin menjadi pemimpin. Di pelajaran tambahan pemimpin juga diajarkan sihir pertahanan itu sangat berguna untukmu. Tapi, melihat menara buku di ruang cendikiawan semalam aku juga tidak bisa meninggalkan cendikiawan. Hatiku yang paling dalam sangat takjub dengan rahasia di cendikiawan. Rasanya seperti harus memilih antara ayah dengan ibu.
----------||-----------
Jeon Jungkook, pemilik nama itu benar-benar membuatku naik darah hari ini. Dari sarapan pagi, istirahat siang sampai makan sore dia benar-benar mengikutiku seperti bayangan. Bahkan sampai menungguiku di depan toilet. Masih memohon-mohon minta diajari. Tentu saja kutolak mentah-mentah. Sampai akhirnya aku bisa bernapas lega, setelah jam makan sore dia pergi ke pelajaran tambahan seni. Yah. Bisa ditebak sih. Dia memang pintar melukis.
"Pacar barumu mana?" Tanya Suga ketika aku sedang bersantai di taman seperti biasa. Pacar? Yah aku tahu siapa yang dia maksud.
"Ke pelajaran seni," Jawabku singkat.
"Itu bener pacarmu?" Tanyanya lagi sambil mendaratkan pantat tepos di sampingku.
"Kenapa cemburu?" tanyaku yang dibalas decikan pelan. "Pacarmu mana?"
"Pacarku?" Raut muka Suga bingung dengan pertanyaanku.
"Hobie." Kembali lagi Suga hanya berdecik pelan.
"Oh ya Sha, semalam aku membaca buku tentang menara kita ini, tentang bagaimana amannya penjagaan menara ini dari dunia luar," Cerita Suga memulai, aku yang sendari tadi sibuk dengan buku ditanganku langsung berpaling ke arahnya. Minatku seratuspersen kepadanya. Karena aku tahu ini informasi yang sangat penting bisa didengar dengan nada suaranya, "Dan setelah kubaca, aku bisa menyimpulkan bahwa ada seseorang yang membantu Choi Rahna masuk ke dalam menara ini. Ketika menjadi buronan di bumi otomatis akan ada di daftar hitam dimanapun termasuk menara ini. Daftar hitam untuk naik kereta sampai di sini. "