SH Ch07

6K 591 14
                                    

Hampir satu setengah tahun menjalani hidup di tengah ibu kota, sebagian waktunya hanya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja. Disaat orang lain masih bergelung dengan selimut, Jaemin telah dibanjiri peluh mengulen adonan roti di sebuah bakery sederhana. Ketika orang lain menikmati waktu pulang sekolah dengan bermain, Jaemin harus bergulat dengan setumpukan piring kotor di sebuah rumah makan tradisional. Pada malam harinya, ketika semua orang bersiap tidur, Jaemin masih harus menjajakan dirinya di tempat nista.

Katakanlah Jaemin kurang bersyukur. Semua yang ia lakukan tidak ada yang membuatnya senang. Ia lelah sampai rasanya ingin berhenti bernafas. Lalu apa kata dokter tadi?

Kurang gizi?

Ya. Dirinya kekurangan gizi. Kenapa pula dokter itu harus menambah beban pikirannya? Jaemin sadar ia kerap mengesampingkan soal makan. Entah mengapa ia merasa makan bukanlah sesuatu yang penting. Lagipula dirinya jarang merasa lapar. Jaemin selalu merasa cukup hanya makan malam dengan satu cup ramen instan dan semangkuk nasi instan.

Makanan tidak termasuk yang ia prioritaskan dalam hidup. Kenyataannya, tujuan ia mencari uang hanya untuk sewa apartemen yang lumayan mahal dan membeli alat-alat kuliah yang tidak murah sama sekali. Meskipun saat ini ia memiliki saldo cukup besar dalam rekeningnya hasil dari bekerja di bar, tetapi tidak terpikir sedikitpun memakai uang itu untuk urusan perut dan gaya.

"Fiuuhhh..."

Jaemin membuang nafas kasar. Pagi ini ia terduduk sendirian di tengah ruangan berbau obat, di atas ranjang dengan tangan ditusuk infus. Ten hanya menemaninya beberapa jam lalu pamit pergi setelah mendapat panggilan telpon. Pria asal Thailand itu hanya mengatakan bahwa terjadi sesuatu di bar, makanya ia harus datang untuk melihat.

Cklek!

Jaemin menoleh dan mendapati seorang pemuda yang tidak ia kenali.

"H-hai!" sapa pemuda itu canggung. "Aku membawakan sarapan untukmu."

Jaemin mengernyitkan dahi kebingungan. "Mungkin anda salah masuk kamar." ujarnya sesopan mungkin. Ia berkata demikian karna tak merasa kenal dengan pemuda tersebut.

"Aku tidak salah. Mungkin kau merasa bingung." pemuda itu berjalan mendekat. "Namaku Mark Lee. Sebenarnya Hyungku yang menyuruh kemari." jelasnya seraya menyiapkan makanan yang ia bawa.

"Hyungmu? Siapa?" tanya Jaemin penasaran. Pikirnya mungkin salah satu rekannya di bar.

"Jung Jaehyun. Aku adiknya."

"J-Jung Jaehyun?" Jaemin kembali memastikan.

"Ya. Kenapa? Oh, aku tahu! Kau pasti heran dengan marga kami, bukan?"

Tidak! Bukan itu! Pekiknya dalam hati. Jaemin hanya heran, kenapa tiba-tiba... Jung Jaehyun?

"Kami berbeda ayah tapi satu ibu, makanya marga kami berbeda." pemuda beralis camar itu menyiapkan meja khusus pasien tepat di depan Jaemin kemudian meletakan beberapa makanan yang cukup menggiurkan daripada makanan rumah sakit.

"Aku tidak tahu kau akan menyukainya atau tidak. Hyungku mengatakan lambungmu sedikit bermasalah, jadi aku membawakan makanan yang mudah dicerna. Kau bisa makan sendiri atau perlu ku bantu?" mark menatap Jaemin tepat di mata.

Membantu? Apa maksudnya menyuapi? Jaemin menggeleng malu. "Aku bisa sendiri, terimakasih."

Pemuda itu tersenyum. "Namamu Nana, benar?" tanyanya.

Jaemin mengangguk.

"Jadi Nana, apa hubunganmu dengan hyungku?

Jaemin mengulum bibir gugup. "A-aku tidak tahu..." katanya. Tidak mungkinkan ia memberi tahu Mark bahwa ia adalah jalang yang pernah disewa Hyungnya?

Sugar Hyung? [Jaemin harem] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang