8

26 11 0
                                    

Prompt Hari Kedelapan:

[ Buat cerita yang mengandung tiga kata ini: Gantungan Kunci, Mimpi Buruk, Pulau. ]

- - - -

Moneta dapat tidur lebih tenang beberapa malam terakhir. Dia tidak perlu melihat bagaimana Carlos memperlakukan Valerie dengan sikap posesif yang berlebihan. Sebuah mimpi buruk yang kerap membuat Moneta tersentak bangun di tengah malam, lalu enggan untuk memejam lagi. Sebagai Valerie, Moneta dapat merasakan rasa ngeri yang merambati kulitnya setiap kali Carlos menatapnya.

Meski belum sepenuhnya menerima konsep reinkarnasi yang disinggung-singgung Jovis, Moneta menyimpulkan bahwa Albert dan Ellia adalah dirinya dan Jovis sekitar dua ratus tahun lalu. Berbeda dengan ingatan Valerie yang membuat Moneta bergidik, ingatan Ellia penuh kisah-kisah menarik. Albert menunjukkan rasa cintanya kepada Ellia dengan cara yang membuat hati berbunga-bunga. 

Sayangnya, Moneta tidak bisa benar-benar menikmati mimpi-mimpinya tentang Albert dan Ellia. Gadis itu belum lupa bagaimana kisah cinta Carlos dan Valerie memburuk. Dalam hatinya, Moneta menyimpan ketakutan jika sewaktu-waktu menyaksikan Albert berubah menjadi sosok suami yang posesif dan obsesif. Rasanya seperti sedang terpesona dengan film romantis yang sedang dia tonton, tetapi spoiler yang dia peroleh membuatnya bersiap-siap untuk sad ending yang menyesakkan. 

"Kau yakin tidak ingin sekalian berangkat dengan kami, Mou?" Ayah Moneta memastikan sekali lagi 

Biasanya, Moneta berangkat lebih awal ke sekolah, barulah setelah itu kedua orang tuanya berangkat ke kantor masing-masing dengan mobil. Mark menawari untuk mengantarkan Moneta, tetapi gadis itu menolak. Dia sengaja belum berangkat bukan sekadar karena kesiangan. Sejak tadi, dia mencuri pandang ke rumah Jovis, menunggu pemuda itu keluar agar Moneta dapat mencegatnya 

"Masih ada yang harus kusiapkan, Pa. Kalian berangkat dulu saja." Moneta berdusta.

"Jangan lupa kunci pintunya."

Moneta melepas kedua orang tuanya dengan senyum hangat. Begitu mobil yang dikemudikan Mark menghilang di tikungan, Moneta bergegas mengambil tasnya. Gantungan kunci berbentuk komodo yang menempel di kunci Moneta berayun-ayun saat gadis itu memutar anak kunci dua kali. Dia membeli gantungan itu saat berlibur ke Pulau Komodo dengan keluarganya tahun lalu.

Untuk pertama kalinya sejak bertemu Jovis, Moneta berkunjung ke rumah pemuda itu. Awalnya Moneta ragu-ragu, tetapi dia berhasil memantapkan diri mengetuk pintu. 

Tidak ada jawaban ataupun tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Tadi pagi, Moneta sempat melihat ibu Jovis masuk ke dalam taksi, tetapi dia cukup yakin Jovis sama sekali belum keluar rumah.

Moneta pun kembali mengetuk, kali ini lebih keras. Tidak lama kemudian terdengar langkah kaki berderap menuruni tangga.

Saat wajah Jovis muncul dari balik pintu, terlihat jelas bahwa pemuda itu tidak menyangka akan melihat Moneta berdiri menatapnya.

"Benar-benar kejutan. Tidak kusangka kau berinisiatif menemuiku," ucap Jovis dengan bibir menyeringai. Matanya berkilat-kilat jenaka, tampak senang melihat Moneta.

"Kau berutang penjelasan kepadaku." Wajah Moneta tetap memasang ekspresi datar. "Sebenarnya apa maksud mimpi-mimpi itu? Misi apa yang selalu kau sebut-sebut itu."

Jovis melirik ke jam dinding bertengger di dinding ruang tamunya. "Kau ingin aku menjelaskan semuanya sekarang dengan risiko kita berdua membolos sekolah, atau nanti saja kita bertemu saat jam istirahat."

Moneta tidak lekas menjawab. Dia menggigit bibir bagian bawahnya sambil menimbang-nimbang. Tempo hari dia sudah tidak masuk sekolah karena sakit. Jika hari ini dia kembali membolos, bisa-bisa dia semakin ketinggalan pelajaran.

"Kalau kau tanya saranku, lebih baik kita bertemu sepulang sekolah," usul Jovis. "Kebetulan Liam mengabariku bahwa buku yang kupesan sudah datang. Buku itu mungkin bisa membantumu mengingat lebih banyak."

"Oke. Terserah kau saja." Moneta menyetujui. "Tapi, aku tidak mau ikut kau ke toko buku. Bisa-bisa Liam salah paham. Aku akan menunggumu di rumah."

Moneta berbalik badan dan mulai menuruni undakan serambi rumah Jovis.

"Hei. Kau tidak mau berangkat ke sekolah bersamaku?"

"Sudah kubilang, kan, aku tidak ingin ada yang salah paham." Moneta mendengkus sambil terus menuruni undakan. "Kita ketemu nanti siang saja."

- - - -

Moneta menyesal tidak meminta nomor ponsel Jovis tadi pagi. Kini, dia hanya bisa menunggu tanpa kepastian. Sudah sejak setengah jam yang lalu, Moneta sudah tiba di rumah. Seharusnya, Jovis juga sudah sampai di rumah. Mereka kan bersekolah di tempat yang sama.

Ketika akhirnya Jovis mengetuk pintu rumahnya, Moneta sudah menimbun kekesalan. Gadis itu membuka pintu dengan wajah ditekuk dan bibir yang cemberut.

"Kenapa lama sekali?" keluh Moneta.

"Ha? Aku kan sudah bilang kalau akan mampir ke toko buku dulu, mengambil buku yang kupesan lewat Liam." Jovis memasuki ruang tamu Moneta sambil mengaduk isi ranselnya.

Moneta tidak menyahut, tidak mau mengaku kalau dia lupa bahwa Jovis akan ke toko buku. Dia mengempaskan bokong di sofa panjang, sedangkan Jovis duduk di kursi ottoman yang paling dekat dengan pintu.

Jovis mengeluarkan sebuah buku cerita bergambar dari ransel dan menyodorkannya kepada Moneta. "Aku tidak sepenuhnya yakin, tapi mungkin penulis buku ini adalah orang-orang seperti kita," jelasnya.

Kening Moneta berkerut. Gadis itu memicing ke arah Jovis sementara tangannya membuka plastik pembungkus buku. "Maksudmu … dia dapat mengingat kehidupan sebelumnya."

Jovis mengangguk. "Coba kau baca dulu buku itu. Saat aku mengira diriku telah gila, buku itu membantuku memahami apa yang sebenarnya terjadi."

Mata Moneta menyiratkan keraguan, tetapi gadis itu tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh Jovis.

Stories That She Will Never ForgetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang