Prompt Hari Kelima belas:
[ Masuk ke website https://perchance.org/emoji masukkan angkat 3 dan klik centang unique. Buatlah cerita yang mengandung makna dari tiga emoji tersebut. (Makna diintepretasikan sedekat mungkin dengan emoji, sebisa mungkin literal) ]
Dan yang saya dapatkan adalah tiga emoji ini:
Saya mengartikannya sebagai emoji: makan, nenek, dan lari.
----
Moneta menutup buku yang dipegangnya dengan gerakan menghentak. Jovis langsung menangkap ekspresi muram gadis itu dan bertanya, "Kenapa kau kelihatan kesal?"
"Aku tidak kesal." Moneta menghela napas. "Hanya bingung?"
"Karena?"
"Apakah Psyche benar-benar jatuh cinta pada Eros, ata Eros menyalahgunakan kekuatannya untuk membuat Psyche jatuh cinta?"
Ekspresi Moneta terlihat lucu di mata Jovis. Andai tidak ingat bahwa mereka sedang di perpustakaan, pemuda itu pasti telah tertawa keras.
"Kau ingin mendiskusikannya?"
Moneta mengangkat bahu.
"Kalau begitu, ayo kita cari makan siang," jawab Jovis.
"Aku belum lapar."
"Aku yang lapar. Lagi pula, aku tidak ingin menghabiskan hari kencanku hanya dengan duduk-duduk di perpustakaan."
Akhirnya, Moneta mengalah. Tadi, memang dia yang memutuskan untuk mengajak Jovis ke perpustakaan. Sebuah pilihan yang tidak biasa sebagai lokasi kencan. Sebenarnya, Moneta hanya tidak tahu tempat yang asyik untuk berkencan. Dia terlalu malu untuk bertanya kepada Hannah.
Ketika Jovis bertanya tempat apa yang paling membuatnya nyaman, Moneta hanya terpikirkan toko buku dan perpustakaan. Pilihan pertama tentu lebih tidak menarik, maka Moneta pun memilih ke perpustakaan. Jovis setuju saja. Mereka pun menghabiskan setengah hari di salah satu sudut perpustakaan.
"Kau mau makan apa?"
Lagi-lagi, Moneta menjengkitkan bahu. "Coba tebak. Kalau kau benar-benar sudah mengenalku sejak lama, harusnya kau tahu makanan kesukaanku," tantangnya.
"Kau selalu suka dengan pasta, tapi aku belum tahu mana restoran favoritmu."
Moneta kemudian mengajak Jovis ke restoran mungil di dekat taman kota. Restoran itu dikelola oleh sebuah keluarga imigran dari Italia secara turun-temurun.
"Satu creamy chicken penne dan satu spaghetti carbonara. Minumnya dua gelas limun." Moneta langsung memesan tanpa menanyakan pendapat Jovis.
Pemuda itu tampak terkejut. "Kau tidak tanya pendapatku dulu?"
"Apa pilihanku salah?"
Jovis menggeleng. Bibirnya mengukir senyum kala berkata, "Tidak, kok. Kau benar. Dari mana kau tahu?"
Tiba-tiba, wajah Moneta berubah muram. "Carlos selalu memesan menu yang sama setiap kali dia mengajak Valerie ke restoran Italia."
Selubung keceriaan yang sejak tadi menyelimuti mereka seolah tersingkap, menyisakan rasa canggung. Selalu begitu saat nama Carlos atau Valerie disebut.
Mereka berdua tidak bersuara, menyibukkan diri dengan sendok dan garpu di tangan untuk menyantap makanan masing-masing.
"Maaf, harusnya aku tidak menyebut nama Carlos," ucap Moneta dengan suara lirih.
"Tidak apa-apa. Bagaimanapun juga, mereka bagian dari masa lalu mereka." Jovis berusaha tersenyum, tetapi rasa getir terpancar jelas dari raut mukanya
Moneta menumpukan wajah ke tangan, diam-diam mengamati seorang wanita tua yang duduk beberapa meja dari mereka. Rambut wanita itu telah memutih semua dan digelung rapi di atas kepala.
"Dari yang kau ingat, berapa kali kita hidup bahagia dan menua bersama?"
Jovis menangkupkan sendok dan garpunya di atas piring. Ditatapnya Moneta dengan serius. "Sebaiknya kau mengingat sendiri, Mou."
"Kenapa? Bukankah lebih cepat kalau kau memberitahuku semuanya."
Sinar mata Jovis meredup. Moneta pun buru-buru meralat ucapannya. "Lupakan saja. Aku akan mengingatnya sendiri."
Kencan hari itu tidak seperti yang Moneta bayangkan. Mereka lebih banyak diam. Awalnya Moneta pikir, Jovs akan banyak bercerita tentang masa lalu mereka. Bukankah biasanya pemudah itu bisa jadi sangat cerewet jika sedang bersamanya? Namun hari itu, entah kenapa, keduanya justru kebingungan membuka topik pembicaraan. Mungkin label kencan terlalu berat membebani mereka.
"Kau masih berminat melanjutkan kencan denganku?" tanya Moneta saat mereka meninggalkan meja kasir.
"Tentu saja, kalau kau sendiri tidak keberatan," jawab Jovis tanpa keraguan sedikit pun.
Bibir Moneta membentuk bulan sabit. "Kalau begitu, kita harus bergegas." Diraihnya telapak tangan Jovis.
Mereka menyusuri trotoar sambil bergandengan tangan. Sebelum-sebelumnya, Moneta khawatir jika ada kenalannya yang melihat mereka jalan bersama. Akan tetapi, kini dia tidak peduli lagi.
"Kita mau ke mana?"
"Ikuti saja aku!" Moneta mempercepat langkahnya. Sesekali dia memeriksa arloji yang melingkar di tangannya.
"Ah, sial. Busnya sudah datang," gerutu Moneta saat melihat bus kota tengah merangkak menuju halte yang sedang mereka tuju. "Sebaiknya, kita berlari. Kalau ketinggalan yang ini, kita harus menunggu satu jam lagi."
"Ha? Lari? Tapi, kita baru saja selesai makan."
Moneta tidak memedulikan protes yang dilayangkan Jovis. Gadis itu justru mempererat genggamannya dan menyeret Jovis ke arah halte.
Di bawa terik matahari siang itu, mereka berdua berlari sekencang mungkin, berusaha tiba lebih dulu di halte dari bus yang hendak mereka tumpangi.
Mereka tiba halte tepat sebelum sopir bus menginjak pedal rem. Moneta mengeluarkan kartu dari dompetnya dan membayar tiket untuk mereka berdua.
"Rasanya makanan yang kutelan akan keluar lagi," keluh Jovis saat mereka telah duduk di kursi paling belakang.
"Aku yakin begitu kita tiba nanti, rasa mualmu itu akan hilang."
"Memangnya kau akan mengajakku ke mana?"
Alih-alih menyahut, Moneta justru menempelkan hidungnya di jendela. Matanya terus mengawasi deret pepohonan yang seolah bergerak seiring dengan laju bus yang makin cepat.
Moneta selalu suka segala sesuatunya terencana dengan rapi, tapi hari itu dia mengambil sebuah keputusan impulsif yang semoga saja tidak dia sesali.
------
Hai. Siapa pun yang masih bertahan membaca ini, terima kasih.
Mohon maaf jika makin hari plotnya makin tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories That She Will Never Forget
General FictionHidup Moneta begitu tenang, setenang kota kecil yang ditinggalinya. Moneta tidak pernah bosan dengan rutinitas yang dijalaninya. Berbeda dengan remaja sebayanya yang menanti-nantikan masa di mana mereka bisa meninggalkan kota, Moneta tidak masalah j...