Prompt:
Buat tulisan yang diakhiri dengan kalimat, "Mencintaimu sama seperti menggenggam angan kosong."
- - - -
Jovis terbangun dan menemukan kepala Moneta tengah bersandar di bahunya. Kedua mata gadis itu terpejam, sementara bibirnya sedikit terbuka. Perasaan bahagia merambat di dada Jovis, menghantarkan gelombang hangat ke kedua pipinya yang kini bersemu merah.
Barusan, dia bermimpi tentang Ming dan Jiali. Biasanya selalu ada perasaan getir yang menjerat setiap kali Jovis terbangun. Semacam patah hati dan rindu yang menderu karena tidak menemukan belahan jiwanya di sisi. Dua tahun penuh Jovis tersiksa dengan perasaan itu. Namun sekarang, semuanya bukan sekadar mimpi. Belahan jiwanya kini bersamanya, dan Jovis berjanji tidak akan melepaskannya.
"Pemberhentian terakhir." Suara parau sang sopir bus menggelegar dan membangunkan Moneta.
Selama beberapa detik, kening gadis itu berkerut. Kedua matanya mengerjap sambil memperhatikan sekeliling.
"Kita di ma—-ya ampun, kita kelewatan," pekik Moneta. "Kenapa kau tidak membangunkanku?"
"Aku juga baru bangun, lagi pula kau tidak memberi tahu tujuan kita." Jovis membela diri.
"Ayo kita turun." Moneta buru-buru merapikan pakaiannya yang kusut.
Jovis membuntuti gadis itu tanpa berkata apa-apa. Dia tahu suasana hati Moneta sedang tidak terlalu baik, entah karena baru bangun atau karena mereka melewatkan tempat pemberhentian yang seharusnya.
"Ah, sepertinya kita tetap akan melewatkan matahari terbenam meski kembali dengan bus," gerutu Moneta saat mereka tengah mengamati jadwal keberangkatan.
Jovis meraih tangan Moneta. Dipandanginya Moneta dengan sorot lembut penuh cinta. "Kita juga bisa melihat matahari terbenam di sini, Mou."
Moneta sedikit salah tingkah. "Tapi ... pemandangannya pasti tidak seindah di pantai."
"Tidak masalah. Yang penting, aku melihatnya bersamamu.:
Biasanya, Moneta tidak menyukai kalimat-kalimat gombal semacam itu. Tidak jarang dia mengejek Hannah yang sangat menggemari kisah romantis. Menurut Moneta, kalimat-kalimat romantis semacam itu terkesan norak. Akan tetapi, perkataan Jovis barusan berhasil membuat jantung Moneta berdebar-debar. Sampai-sampai gadis itu khawatir Jovis dapat mendengar suara ribut yang tengah memantul-mantul di dadanya.
"Terserah kau saja." Moneta berusaha bersikap tidak peduli. Dia melangkah menyusuri trotoar sambil memperhatikan langit, menebak-nebak mana arah barat dan di mana bisa mereka duduk menunggu matahari terbenam.
Jovis kembali meraih tangan Moneta. Gadis itu tidak memprotes. Mereka pun jalan beriringan menyusuri kota yang rasa-rasanya lebih sepi dari kota mereka itu.
"Ngomong-ngomong, Jovis. Apa kita pasti selalu bersama di setiap lini waktu?" tanya Moneta saat mereka menemukan area lapang yang tampak cocok sebagai tempat berisitirahat. Wajahnya berubah muram, seperti ada yang tengah dia pikirkan.
"Sejauh yang kuingat, iya. Bahkan Carlos dan Valerie pun sempat hidup bahagia bersama."
"Begitu ya."
"Kenapa memangnya?"
Bibir Moneta membentuk sebuah senyuman, tetapi kedua matanya tampak sedih.
"Mimpiku yang barusan tidak terlalu bagus."
"Carlos dan Valerie lagi?"
Moneta menggeleng. Dialihkannya pandangan agar tidak perlu balas menatap Jovis.
"Lalu?" Jovis kembali bertanya.
"Aku tidak tahu nama mereka. Yang kulihat hanya sekilas saja, tidak terlalu jelas. Tapi, aku merasa sangat-sangat sedih saat itu. Tidak ada kamu, hanya aku, sendirian dan menangis di kamar. Pakaian yang kukenakan juga aneh."
"Kau bisa menebak negara atau waktunya?"
Moneta lagi-lagi menggeleng. "Semuanya terlihat asing. Aku tidak pernah patah hati sebelumnya, tapi kurasa apa yang saat itu membuatku sedih mungkin bisa dibilang patah hati. Rasanya benar-benar sakit. Aku sampai merasa kesulitan bernapas," jelasnya sambil menepuk dada.
"Apakah mungkin waktu itu kita belum bertemu. Atau, kau sedang patah hati karena orang lain?"
"Entahlah. Kalau teorimu selama ini benar, harusnya aku tidak akan jatuh cinta kepada orang lain sedalam itu."
"Mungkin waktu itu aku harus pergi karena sesuatu, atau ...," Jovis sedikit ragu melanjutkan kalimatnya.
"Atau apa?"
"Atau aku tidak berumur panjang di masa itu. Hal itu bisa saja terjadi. Seperti saat aku menjadi Hiroshi, kau–Kiyoko–meninggal lebih dulu. Waktu itu, aku juga merasa sangat sedih setiap kali bermimpi."
Moneta menghela napas panjang. "Tampaknya bukan seperti itu."
"Lalu?"
"Mungkin kau menolak cintaku. Karena waktu itu, aku menangis sambil menulis surat. Aku masih mengingat kalimat terakhirnya."
"Apa?"
Air mata tiba-tiba saja meluncur turun di pipi Moneta. Gadis itu seolah dapat merasakan kembali perasaan sedih yang memenuhi mimpinya tadi. Dia menarik napas panjang sebelum lanjut berkata, "Mencintaimu sama seperti menggenggam angan kosong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories That She Will Never Forget
Ficção GeralHidup Moneta begitu tenang, setenang kota kecil yang ditinggalinya. Moneta tidak pernah bosan dengan rutinitas yang dijalaninya. Berbeda dengan remaja sebayanya yang menanti-nantikan masa di mana mereka bisa meninggalkan kota, Moneta tidak masalah j...