Hari selasa adalah hari favorit Jeffrey, itu karena jadwalnya: jam 1-2 matematika wajib, jam 2-4 matematika minat, jam 4-6 kimia, jam 6-8 bahasa inggris. Sempurna. Semua pelajaran kesukaan Jefrrey menjadi satu.
Ini bukan karena Jeffrey orang pintar yang gila belajar, tidak, ia tidak sepintar itu, dan orangtuanya juga tidak terlalu peduli akan nilai akademisnya. Minimal dipukuli jika ia tidak dapat nilai matematika yang sempurna.
Well, iya, orangtuanya memang peduli soal nilai akademis. Mereka ingin Jeffrey menjadi dokter, tapi Jeffrey malah melukis, itu kenapa Jeffrey harus dapat nilai akademis yang sempurna jika ingin lanjut melukis, pun dengan syarat hasil lukisannya dapat menghasilkan uang, entah dijual atau menang perlombaan.
Pelajaran pertama dimulai, tapi Rosé belum juga memunculkan batang hidungnya padahal kelas sudah dimulai. Kaki Jeffrey bergerak gelisah di balik meja. Guru matematika kelas 11 terkenal galak, Rosé dalam bahaya.
Tapi Rosé tidak muncul sampai istirahat pertama selesai.
Jeffrey membuka ponselnya, mereka pernah bertukar nomor jadi dia memutuskan untuk memulai pesan pertama di roomchat yang kosong itu.
Rosé
Sé, lo dimana?
Kenapa gak masuk?
DeliveredDia menutup aplikasi messages dan ke aplikasi lain. Aplikasi yang menyambungkan ponselnya dengan kamera yang ia letakkan di kipas portable tempo hari.
Gelap. Rosé mungkin meletakkan kipas itu di tas.
Jeffrey mengecek pelacak yang ia letakkan di kipas itu juga. Terlihat posisi kipas berada di alamat yang Jeffrey tahu rumah kediaman Rosé, antara kipasnya ditinggalkan, atau Rosé memang tidak sekolah.
Jeffrey menggigit kuku jempolnya gelisah. Ini pertama kalinya ia kehilangan Rosé, dalam artian: Rosé selalu membawa kipasnya kemana-mana dan dia tidak yakin Rosé ada di rumah karena Rosé selalu meletakkan kipasnya di atas meja ketika sampai rumah.
Jadi ada kenungkinan Rosé pergi tanpa membawa kipasnya.
Wajah Jeffrey memerah kesal, jantungnya berdegup kencang, kedua tangannya terkepal lalu menjambak rambutnya gusar. Ia mencoba menelepon Rosé beberapa kali tapi nihil, tidak diangkat.
Kalau Rosé diculik gimana?
Enggak. Gak mungkin pagi-pagi di luar ramai gini diculik. Gimana kalau dia kekunci di kamar mandi?
Tapi kipasnya gak dikeluarin dari tas bekas kemarin, berarti dia habis pulang ke rumah langsung pergi lagi dan belum pulang sampai sekarang? Kemana?
Rosé, lo kemana?
Rosé, gua pengen liat lo.
Rosé, please.
Untuk yang pertama kalinya Rosé menghilang dari jangkauan Jeffrey, dan pria itu nyaris kehilangan akal sehatnya.
☁️☁️☁️
"Hah?"
"Apaan?"
"Lo kok di sini?"
Rosé menatapnya aneh, lalu kembali menyedot milkshake coklat yang ia pesan. "Cabut," ucapnya setelah meneguk minuman manis itu, sampai seolah dia memuntahkan 2 gelas gula saat membuka mulutnya.
"Jesus christ." Jeffrey mengecak-acak rambutnya lalu duduk di hadapan Rosé dengan kasar.
"What?"
"I thought you're fucking dying, what the fuck?" Jeffrey menatap Rosé kesal.
Hening selama beberapa detik.
"You're weird." Suara Rosé memecah keheningan kantin.
Jeffrey menghela napas. "Apa lagi sekarang?"
Rosé punya banyak yang ingin dikatakan, tentang sikap aneh Jeffrey, tentang bagaimana tatapan yang Jeffrey berikan padanya seolah menelanjanginya, tapi mulutnya tertutup rapat. Tidak bisa merangkai kata untuk itu.
"Rosé."
"Hm?"
"Lo satu-satunya teman cewek gua, tau."
"Oh."
"Jangan jauhin gua."
Mata Rosé bergulir menatap pria yang ada di hadapannya. Tampan. Badan atletis. Pintar. Berbakat. Baik. Oke, semua ini aneh. Jeffrey sangat sempurna. Weirdly perfect.
Tidak mendengar jawaban, Jeffrey menghela napas. "Gua gak mau lo sedih karena gak dapet coklat, Sé—"
"Jangan ungkit valentine lagi. Beberapa cowok nanyain gua soal coklat yang mereka kasih, someone stole it."
"Okay."
"Beneran."
"Oke, Rosé. Percaya."
"What the fuck, Jeff?" Rosé berdiri.
Mata Jeffrey terpejam saat ia menghela napas, apalagi sekarang?
"You don't believe me, don't you? You think I'm a pathetic bitch no one loves—"
"Rosé! Lo kenapasih?"
Hening lagi.
Rosé masih berdiri, matanya meneliti tiap gurat wajah Jeffrey, tapi nihil, wajah Jeffrey datar, dan itu membuat dada Rosé sesak. Ia tidak tahu apa yang ia khawatirkan, apa yang membuatnya merasa terbebani oleh situasi yang terlihat biasa saja ini, tapi entah kenapa ada yang ganjil.
"Kita gak temenan, Jeff, ngobrol aja jarang, seringnya marah, diem-dieman," ucap Rosé.
Jeffrey tidak menjawab.
"Serius, deh, lo mau apa dari gua?" Rosé berusaha mebgatur napasnya yang memburu. "Badan gua? Bilang aja. Kita gak cocok, gua tau lo ngerasa itu juga. Dekat-dekatan aja gua gak tahan sama sikap nyebelin lo, apalagi temenan."
"Jujur aja." Rosé memberi jeda. "Mau lo apa?"
Senyum Jeffrey terukir.
"Temenan."
"Jesus," gumam Rosé, pergi dari hadapan Jeffrey yang masih tersenyum, tapi langkah Rosé terhenti saat mendengar suara berat 'teman'nya berkata,
"Kita satu kelompok di tugas bahasa inggris. Gua tunggu lo di lobby sepulang sekolah. Ngerjain tugas di rumah gua."
"Yeah whatever."
Senyum Jeffrey makin lebar, mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐇𝐨𝐭 𝐚𝐬 𝐇𝐞𝐥𝐥❜🎨
Fanfic𝐑𝐨𝐬𝐞 𝐱 𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 ❝Jeffrey Jung is a different type of creep. ❞