Aku dan Arkan berjalan bergandengan menuju mobil. Dengan kecepatan sedang, mobil melaju menuju rumah. Aku masih tidak habis pikir, ini hari kelulusan dan Arkan sudah melamar. Ya, Tuhan. Mimpi apa aku semalam. Senyum masih mengembang di bibir dengan pandangan terfokus pada jari manis yang dilingkari oleh cincin.
“Kenapa lu senyum mulu?”
“Mendadak gila gara-gara lu,” ucapku dengan memeluk cincin yang terlingkar di jari.
Arkan hanya tersenyum dengan geleng-geleng kepala. Eits, tunggu dulu. Pakaiannya kok udah ganti saja? Perasaan, tadi menggunakan kemeja biru tua. Bukan kostum resmi dengan memakai jas. Keherananku semakin bertambah ketika sudah sampai di rumah.
Halaman rumah dipenuhi oleh mobil-mobil yang pemiliknya entah siapa. Di ujung halaman juga terparkir mobil Papa. Berarti Papa tidak benar-benar balik ke kantornya. Pintu rumah terbuka dengan seorang penjaga di depannya. Apa ada acara? Kenapa Papa tidak memberitahu sebelumnya?
“Ayo turun,” ucap Arkan dengan mengulurkan tangannya setelah membukakan pintu.
“Habis kejedot pintu? Kok berubah jadi manis gini sih?” tanyaku dengan menerima uluran tangan Arkan.
Hari ini, tema perpisahan kami menggunakan kebaya tradisional modern. Ditambah dengan menggunakan higtheels dan ujung rok yang sempit. Sedikit susah untuk berjalan jika tidak dibantu.
Kejutan besar ketika aku dan Arkan telah memasuki rumah. Ada hidangan yang tergeletak di atas meja. Juga ada para tamu undangan yang telah hadir dengan seragam serba hitam. Disambut oleh Papa dan sepasang suami istri yang tidak kukenal.
“Sayang, ini orang tua Arkan,” ucap Papa dengan memperkenalkan pasangan itu.
“Om, Tante,” sapaku dengan mencium punggung tangan mereka secara bergantian.
“Oh ini, Pah, yang namanya Vanessa, wajar aja Arkan jatuh cinta,” ucap wanita itu dengan tersenyum.
Aku sedikit canggung berada di tengah keramaian seperti ini. Apalagi ada orang tuanya Arkan. Masih bingung juga ada acara apa sebenarnya.
“Pah, ini ada acara apa?” tanyaku pada Papa dengan sedikit berbisik.
“Acara pertunanganmu dengan Arkan,” jawab Papa dengan melangkah pergi menuju panggung kecil yang didekor di dalam rumah.
Tadi pagi ruangan ini masih seperti sebelumnya. Tanpa ada dekorasi apa-apa. Luar biasa sekali yang melakukan dekorasinya, hanya dalam waktu singkat, bisa membuat ruangan ini menjadi indah.
Arkan berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Mengulum senyum ketika beradu pandang denganku. Sikapnya berubah menjadi manis begitu, kalem. Tidak seperti cacing pita lagi. Yang tidak bisa diam seperti sebelumnya.
Papa memanggil agar aku dan Arkan maju ke hadapan paru tamu undangan. Arkan menggenggam tangan kiriku dan melepas ketika kami telah sampai. Ada sesuatu yang janggal, cincin di jari manisku ikut menghilang ketika Arkan melepas genggaman.
“Diulang,” ucap Arkan dengan memasukkan cincin kembali ke dalam kotak.
“Baiklah, sudah saatnya untuk memasukkan cincin ke jari pasangan masing-masing. Ayo, Sayang, dimasukkan ke jari Arkan,” ucap Papa dengan memberikan kotak merah kecil padaku.
Degup jantung benar-benar tidak bisa terkontrol. Mendadak sekali. Apalagi Arkan tidak membicarakan ini sebelumnya.
Tepuk tangan bergemuruh ketika cincin sudah masuk ke dalam jari Arkan. Aku menoleh pada orang tua Arkan yang berdiri di samping Papa. Mereka terlihat begitu bahagia. Namun, tidak ada Stevie di sana. Ini hari kelulusan kami, orang tua Arkan tidak datang untuk mendampingi Stevie, tapi bisa hadir di acara ini. Pasti kebencian gadis itu akan bertambah lagi untukku. Hufff!