Ketika Papa Marah

9.6K 267 3
                                    


Aku terus melangkah dengan pikiran yang dipenuhi oleh rasa marah bercampur dengan bahagia. Sedikit menoleh ke belakang, memastikan apakah Om Rudy mengejar atau tidak. Ternyata dia masih betah di sana, berdiri dengan wajah datar di hadapan Papa. Entah apa yang sedang mereka bahas, yang jelas, wajah Papa dipenuhi oleh rona merah. Matanya menatap tajam pada Om Rudy.

Brak!
Aku hampir terjatuh ketika menabrak seseorang.

“Sorry,” ucapku dengan kembali menoleh ke depan.

Demi kerang ajaib! Kenapa orang ini selalu ada di setiap tempat? Aku melotot sebelum meneruskan langkah menuju parkiran.

Dia tersenyum, “Lu kok ngintilin gue mulu sih?”

What? Ngintilin dia? Ucapan Arkan tidak kugubris. Kali ini aku benar-benar malas untuk berdebat. Cepat, kedua pipi kuusap dengan telapak tangan, sebelum Arkan menyadari bahwa aku sedang menangis.

“Lu nangis lagi?” tanya Arkan dengan mengekor di belakang. “Lu hobi bener ya buang airmata. Sayang tu bedak sama eye liner yang mahal.”

“Lu bisa diam gak?” ucapku dengan berbalik dan menatapnya dengan lebih tajam lagi.

Dia diam dengan ekspresi yang sulit untuk digambarkan. Aku kembali berbalik dan melangkah lebih cepat lagi. Suasana cukup ramai jika melakukan aksi baku hantam di sini. Lebih baik menahan emosi daripada menjadi berita viral nanti.

Aku telah sampai di parkiran, cuaca sudah cukup teduh karena hari sudah mulai petang. Om Rudy belum juga terlihat tanda-tanda kedatangannya. Lelah juga menunggu di samping mobil untuk waktu yang lama.

Aku kembali ke koridor, duduk di anak tangga ke tiga di samping pintu masuk. Ya, terlihat seperti gelandangan yang sedang mengiba meminta uang. Biarkan saja, aku lelah!

Hampir lima belas menit menunggu, Om Rudy tidak kunjung datang. Panik juga, khawatir jika Papa dan Om Rudy melakukan hal yang tidak diinginkan. Aku bangkit berdiri, berniat untuk kembali masuk, memastikan bahwa Om Rudy tidak apa-apa. Kalau Papa, biarkan saja dia babak belur di sana.

“Vanessa! Sedang apa kamu di sini?” Aku menoleh pada sumber suara.

Ada Pak Angga dengan motor besarnya. Beberapa kantong belanjaan tergantung di sana. Dia mengenakan kaus oblong hitam dengan celana jeans koyak di bagian lututnya. Ah ... dia gagah sekali.

“Nunggu seseorang, Pak,” jawabku.

“Siapa?”

“Papa.”

“Mau pulang, ayo saya antar.”

“Gak usah, Pak. Itu belanjaan Bapak banyak, takut ngerepotin.”

“Yakin gak mau?”

Aku mengangguk. Pak Angga menancap gas dengan kecepatan tinggi, membunyikan klakson sebelum menghilang di kejauhan.

Dunia ini begitu sempit. Mengapa aku selalu bertemu dengan dua makhluk pengganggu seperti Pak Angga dan Arkan.

Baru beberapa langkah aku masuk, Om Rudy datang dengan semua kantong belanjaan. Dia tersenyum, memperlihatkan dua lubang di pipi kanan dan kirinya. Pak Angga memang gagah, tapi Om Rudy begitu manis.

“Kok lama, Om?” tanyaku dengan bergelayut manja di lengan kiri Om Rudy. “Apa Om bertengkar dengan Papa?”

“Enggak. Bertengkar gak akan pernah memberikan solusi.”

“Lalu?” tanyaku dengan mendongak, menatap wajahnya yang tampan.

“Meminta restu.”

“Dapat?”

Om SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang