"Vanessa, percayalah pada Papa.”
Papa tetap berusaha untuk meyakinkan, tapi aku tidak peduli.
“Vanessa benci Papa!” teriakku setengah memaki.
Sejenak Papa terdiam, tidak ada lagi bujukan yang ia berikan. Tidak berapa lama, langkah kaki terdengar menjauh dari pintu kamar. Aku semakin terisak, semua orang sama saja!
Tuk! Seseorang melempar kerikil pada jendela kaca. Sekali... dua kali... tiga kali. Hingga sembilan kali. Aku yakin itu ulah Arkan, cuma dia yang bisa bersikap usil seperti itu.
“Kalau mau mecahin kaca jangan pake kerikil, coba pake batu yang besar!” ucapku dengan bangkit dan membuka jendela kaca.
Ia cengengesan dengan tangan terangkat untuk kembali melempar.
“Tadi niatnya gitu, kalau sampai kerikil ke sepuluh gak dibuka juga.”
“Gue lagi berduka, jangan ganggu gue!”
“Gue gak ganggu lu, cuma mau memastikan kalau lu masih bernapas.”
Aku melotot. Andai suara hati bisa didengar, teriakanku akan terdengar oleh seluruh penghuni komplek.
“Keluar,” pinta Arkan.
“Gak!”
“Keluar gue bilang!”
“Gue gak mau!”
“Kalau lu gak mau keluar, gue yang masuk.”
Arkan semakin mendekat ke jendela. Aaaarght! Mengapa kamarku harus ada di lantai bawah? Jendela kembali kututup dengan cepat. Namun masih kalah cepat dengan gerakan tangan Arkan untuk mencekalnya.
“Lu ngapain di dalam kamar? Ayo cepat keluar! Ada yang pengen jumpa.”
“Siapa?” tanyaku dengan mengerutkan kening.
“Calon suami lu!”
“Om Rudy?” tanyaku dengan penuh semangat.
Lihatlah, hanya dengan mengingat namanya saja sudah mampu menghilangkan semua kegundahan yang aku rasa. Apalagi jika melihat wajahnya.
“Gue!” ucap Arkan dengan mencubit kedua pipiku.
“Iiih, apaan main cubit pipi. Lu kira gue adek bayi?!”
“Habisnya calon istri gue ngegemesin banget.”
“Gue bukan calon istri lu, Kacang Buncis!”
“Panggilan sayang lu buat gue banyak bener yak. Setiap jumpa panggilannya beda-beda.” Arkan melepas satu tangannya pada jendela untuk berpindah ke pinggangnya. Sementara tangan yang satunya masih setia untuk menahan agar jendela tetap terbuka.
“Itu bukan panggilan sayang!” ucapku dengan mundur satu langkah untuk menutup kain horden, sehingga wajah Arkan terhalang oleh kain itu.
Namun, bukan Arkan namanya jika dia mudah menyerah. Kain itu ia buka dan memanjat jendela untuk masuk. Aku keluar ketika dia menghempaskan diri di ranjang.
“Elah, giliran gue masuk, lu malah keluar!” Arkan kembali bangkit dan mengekor di belakang.
“Harus berapa kali gue bilang, gue bukan induk lu!” Aku berbalik dan melotot pada Arkan.
“Meoww ....”
“Arkaaan!”
Dia tertawa, “Lha, gue salah apa? Lu kan induk ayam, sedangkan gue anak kucing.”
“Gue patuk juga lu!”
Suasana rumah benar-benar sunyi ketika aku keluar dari kamar. Tidak ada Papa, Kak Mega dan Bu Asih. Hanya ada aku dan Arkan.