Kamu Bukan Anak Papa

7.1K 232 6
                                    

"Udah sadar sekarang?” tanya Arkan dengan menatapku dalam.

Aku berbalik dan berjalan menuju mobil sambil mengusap kedua pipi. Pasti ada yang salah dengan Om Rudy!

“Buka!” ucapku dengan masih terisak.

Arkan menekan remote control yang tergantung di kunci. Aku masuk dan duduk dengan airmata yang masih mengalir di pipi.

“Nih minum dulu.”

Arkan mengulurkan minuman botol yang sempat dibelinya tadi. Aku menggeleng. Suasana hatiku benar-benar kacau.

Ponsel Arkan berdering, setelah ia baca nama yang tertera, ia biarkan saja. Namun, pada panggilan kedua akhirnya dia jawab juga. Terdengar Arkan sedang berbicara dengan seorang wanita di seberang sana. Namun tidak jelas apa isi dari pembicaraan mereka. Raut wajah Arkan tiba-tiba berubah.

“Oke, kami ke sana sekarang.”

“Ada apa?” tanyaku dengan menghentikan tangis dan mengusap kedua pipi.

“Kita ke rumah sakit sekarang.”

Mobil melaju dengan kecepatan 4G. Jika balapan dengan Rossi, sudah bisa dipastikan Arkan tidak akan terkalahkan. Karena mereka tidak sejalur. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan cara menyetir Arkan yang ugal-ugalan. Tidak ada lagi jantung yang menuntut ingin melompat, dia sudah tenang bergelayut di dalam sana.

“Kan, ada polisi yang ngejar.”

“Lu pegangan yang kuat.”

Aku semakin mengeratkan pegangan dan sabuk pengaman. Hari ini akan menjadi hari bersejarah dalam hidupku. Untuk pertama kalinya ikut balapan bersama polisi.

“Ini jalan ke mana?”

“Gue juga gak tau, kita lewat ini aja dulu buat mengelabui polisi.”

“Lu sih nyetirnya melewati batas rata-rata.”

“Kak Mega ngabarin kalau nyokap lu masuk rumah sakit.”

“Mama ....”

Aku kembali menunduk dengan raut wajah sedih. Mengapa masalah sangat enggan untuk menjauh dariku, Tuhan? Jalan yang kami lintasi melewati area pemakaman, terus berlanjut ke area perkebunan. Semakin masuk semakin sunyi dengan pepohonan yang tinggi menjulang.

“Kayaknya tuh polisi udah gak ngejar deh, Kan. Tapi ada masalah lain, kita ada di mana?”

Arkan mengeluarkan gawainya dan membuka google map. Zaman yang sangat praktis dan mudah. Tidak tahu jalan, tinggal membuka benda pintar itu, masalah selesai.

“Gak jauh dari sini ada jalan besar yang tembusnya di samping pertamina dekat rumah sakit,” terang Arkan.

Benar saja, setelah lima belas menit melewati jalan sunyi yang dikelilingi oleh pohon tinggi, akhirnya bertemu juga dengan jalan raya. Mobil melambat ketika kami telah sampai di halaman rumah sakit. Arkan menurunkanku di depan UGD, sementara dia pergi mencari tempat parkir.

“Ayo,” ucap Arkan setelah kembali dari memarkirkan mobil.

“Bukannya di UGD?” Aku bertanya ketika Arkan membawaku melewati ruangan itu.

“Sudah dipindah ke ruangan lain.”

“Ke mana?” tanyaku.

Dia tidak menjawab. Seperti ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan.

“Arkan, nyokap gue gak apa-apa ‘kan?” tanyaku memastikan. Karena raut wajahnya menggambarkan duka cita yang terdalam. Kami berhenti tepat di depan ruangan kelas PIV.

Om SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang