"Siswa baru?” tanya Pak Angga dengan menaikkan alis kirinya.
Dari tatapan Pak Angga, aku tahu bahwa dia mengenal. Mungkin karena waktu itu aku mengatakan jika bertemu, anggap saja tidak saling mengenal. Namun, bukan ini maksudnya.
“Siswa baru stok lama,” ucapku dengan berlalu.
Arkan telah membuat mood pagiku sedikit terganggu. Mau ditaruh di mana wajah cantikku? Emang dia pikir punggungku itu mading, seenaknya saja menempelkan kertas yang dia mau. Kalau jidat vampir mungkin iya.
Dengan helaan napas berat, aku hempaskan pantat di kursi. Gawai yang aku taruh di saku bergetar, dengan cepat kuraih dan nyalakan layar. Satu pesan dari nomor yang tidak dikenal.
[Semangat sekolahnya, Sayang. Pulang sekolah jangan lupa beli popok buat anak kita ya. By laki termanis.] Dengan emot sok kece di ujung pesan.
Ya ampun, ini anak. Lama-lama pengen gigit juga! Bayangan sosok Arkan masih menjadi misteri. Rasa penasaran semakin dalam di dada. Siapa dia sebenarnya?
Bunyi bel membuyarkan lamunanku tentang Arkan. Apel pagi adalah satu hal yang paling menyebalkan. Harus berdiri di halaman sekolah dengan mendengarkan nasehat guru yang berulang. Tidak lama, hanya sepuluh menit, mengisi absen pagi dan mendengarkan nasehat yang sudah hapal di pikiran.
Beberapa siswa tidak mendengarkan. Mereka lebih memilih untuk mengajak bersosialisasi teman yang berdiri di sampingnya. Ada juga yang tidak acuh dengan mencabut bulu hidung yang lebatnya kelewatan.
Beberapa siswa badung dijewer dan dihukum berdiri di hadapan para siswa karena tertangkap basah ingin melompat pagar. Padahal masih pagi, ada-ada saja. Kalau mau bolos itu harus lihat situasi juga dong.
“Oi, Vanessa. Tumben ikut apel pagi,” tegur siswa yang bertubuh imut. Kalau pakai baju bebas, bisa dipastikan banyak yang mengira bahwa dia adalah anak SMP. Demi apa coba, anak kelas tiga SMA tingginya 150 cm. Aku rasa hanya dia yang bertubuh imut seperti itu.
“Anak rajin bin teladan gituh loh,” jawabku dengan mengibaskan rambut.
“Ciee, udah jadi anak sekolah sekarang,” balas teman yang satunya.
“Gak jadi wanita simpanan lagi,” ucap seorang gadis yang dandanannya tidak kalah menor dengan dandananku dulu.
Aku mendongak dan menoleh pada gadis yang di dada kirinya tertera nama Stevie. Tatapannya penuh kebencian dan pandangan yang merendahkan.
“Apa lu bilang?” ucapku dengan mendorong tubuhnya.
Seketika kami berdua menjadi pusat perhatian para siswa di sekitar barisan.
“Ada apa yang di belakang?” tanya Bu Anna yang sedang berbicara di depan sana.
“Halah, gak usah sok suci. Gue tau selama ini lu jadi simpanan om-om,” ucapnya dengan tatapan menjatuhkan.
“Lu jangan sembarangan bicara ya.”
“Yang gue bilang itu fakta!”
Aku tidak terima dengan caranya menatap dan kalimat yang baru saja dia ucap. Rambut panjang dengan sedikit gelombang di bagian bawah itu kutarik dengan kuat.
“Vanessa! Stevie! Jangan bikin masalah di sekolah!” Nada bicara Bu Anna semakin meninggi, ditambah dengan volume mikrofon yang kuat.
Ekspresi wajah Stevie menggambarkan rasa sakit akibat rambutnya yang ditarik. Kedua tangannya menggapai-gapai untuk mencari rambutku. Pada akhirnya dia dapat meraih, dan kamipun saling jambak-menjambak.
“Pantas saja Om Bakti mau jodohin lu sama abang gue. Biar lu lepas dari pria tua itu! Dibayar berapa dia biar mau jadi calon laki cewek kayak lu?!”
Tarikan pada rambut Stevie kulepas. Terkejut dengan ucapannya barusan. Mataku terbelalak dengan menatapnya tidak percaya.