"Jadi sopir pribadi elu!” ulang Arkan.
“Gue terkejut, bukan gak dengar.” Aku berjalan melewati Arkan, menaiki anak-anak tangga menuju ruang kerja Papa.
“Mau ke mana?”
“Ketemu raja!”
“Belum pulang kerja!”
Langkahku terhenti mendengar jawaban darinya.
“Terus, lu kok bisa diterima? Lu daftarnya lewat mana? Jangan-jangan lu bo'ong ya?”
Aku kembali menuruni anak-anak tangga. Mencari gawai untuk menghubungi Papa.
“Gue kan calon mantu di rumah ini, jadi wajar aja diterima.”
Panggilan pertama tidak dijawab, kedua, ketiga. Tetap sama. Namun aku pantang menyerah, akan selalu menyerbu sebelum panggilan terjawab.
“Halo, Pa. Papa itu apa-apaan sih? Buat apa nyariin Vanessa sopir pribadi?” tanyaku tidak terima.
Tanpa terikat kerja pun Arkan sudah mengikuti ke manapun aku pergi. Apalagi jika dia diberi tugas sebagai sopir pribadi. Yang ada tingkahnya akan semakin menjadi-jadi.
“Papa tidak mau kamu berhubungan lagi dengan pria itu. Arkan bukan hanya bertugas sebagai sopir, tapi juga bodyguardmu. Ke manapun kamu pergi, Arkan akan selalu menemani. Jangan bertingkah macam-macam, karena Arkan akan memberitahu Papa apapun yang kamu lakukan di luar. Ingat, jangan pernah temui pria itu lagi!” Panggilan terputus setelah Papa berbicara panjang kali lebar kali tinggi sama dengan luas.
“Lu punya ilmu apa sih? Kok bokap gue bisa nerima lu gitu aja?” tanyaku dengan melipat tangan di dada.
“Ilmu pemikat, sayangnya lu gak terpikat sama sekali,” ucapnya dengan tertawa.
Aku berjalan dan mendekatkan wajah, hingga wajah kami hanya berjarak sekitaran tiga senti. Hawa panas dari napasnya terasa di wajah. Rona merah seketika menjalar di pipinya, dia terlihat begitu gugup. Lucu sekali ekspresi wajahnya. Tawaku ingin meledak, tapi sekuat tenaga kucoba untuk menahannya.
“Lu ganteng sih, tapi sayang ... jomblo.” Aku berbalik dan masuk ke kamar, menutup pintu dan menguncinya dengan rapat.
Hari-hariku akan semakin berat dengan kehadiran Arkan sebagi sopir sekaligus bodyguard pribadi. Huufffh!
****
Seragam, rapi. Make up, oke. Sempurna! Sudah waktunya untuk berangkat ke sekolah. Aku menghentikan langkah, melirik kanan kiri untuk memastikan bahwa Arkan belum datang. Waktu masih menunjukkan pukul enam tiga puluh pagi. Setengah jam lebih cepat dari biasanya.
Aman! Tidak ada Arkan di seluruh ruangan. Aku menjinjitkan kaki agar langkah tidak terdengar. Mengendap-ngendap seperti orang yang ingin mencuri. Mobil Papa sudah tidak ada, itu tandanya dia sudah berangkat kerja.
“Sayang!”
“Sayang eeh Sayang!”
Aku mengelus dada, jantungku mendapat olah raga ekstrim pagi ini. Untung saja dia tidak melompat dan menggelinding di lantai.
“Arkan! Bisa gak sih gak ngagetin orang?!” Aku memasang wajah cemberut.
Lama-lama, jantungan juga kalau setiap hari bertemu dengan Arkan.
“Cie, dia manggil sayang.” Arkan tertawa dengan telunjuknya mengarah ke wajahku.
“Ini sayang!” Aku mendaratkan satu pukulan ke perutnya.
Dia hanya tertawa. Tidak meringis sama sekali. Ya, karena pukulanku tidak berasa. Gadis cantik dan ayu sepertiku memang tidak terlalu bertenaga untuk menghajar orang.