Kamu Anak Papa!

6.4K 242 11
                                    

"Gue pengen nyari bokap gue,” ucapku dengan serius.

“Itu doang? Itumah pendek, cuma seupil,” ucap Arkan.

“Gue serius, Kan! Gue gak mau pulang.”

“Kenapa? Karena Om Bakti bukan bokap lu?” tanya Arkan dengan menatapku serius.

Aku mengangguk.

“Terus, salahnya di mana? Cuma karena dia bukan bokap lu, lu jadi benci dia dan memilih untuk pergi? Emang lu tau bokap lu siapa?”

Aku menghela napas berat. Kemudian menggeleng lemah. Sedikitpun aku tidak tahu mengenai lelaki penitip benih itu.

“Bukannya gue berpihak pada Om Bakti, tapi yang lu lakuin ini salah.”

Aku mendongak dan menatap Arkan dengan dalam. Bertanya melalui tatapan mengapa dia berkata begitu.

“Dia memang bukan bokap lu, tapi kasih sayangnya melebihi bokap lu sendiri. Buat apa lu mencari orang yang gak jelas hidupnya, yang gak peduli sama lu, bahkan sebelum lu dilahirkan. Sementara di sini ada Om Bakti yang benar-benar sayang sama lu. Menganggap lu sebagai anaknya sendiri. Meskipun kenyataan itu menyakitkan untuknya.”

Aku kembali menghela napas dalam. Menatap jauh pada langit malam yang dipenuhi oleh bintang.

“Sejauh apa lu mengenal Papa? Bahkan gue anaknya merasa bahwa Papa yang sekarang bukanlah Papa yang dulu.”

“Itu karena lu melihatnya dari sudut yang berbeda. Lu gak tau kalau Om Bakti itu terluka, batinnya tersiksa.”

“Gue juga tersiksa,” ucapku dengan lemah.

Arkan menghela napas berat. Kemudian memegang kedua pundakku dan menatap dengan dalam.

“Gue tau lu terluka dan tersiksa, itulah sebabnya gue hadir dalam hidup lu. Lu harus yakin sama gue, Om Bakti itu benar-benar sayang sama lu.”

“Sebenarnya lu itu siapa? Kenapa lu peduli sama keluarga gue?” tanyaku dengan melepas pegangan Arkan pada pundak.

“Gue ... gue adalah pangeran yang diutus buat jadi pendamping hidup lu,” ucap Arkan dengan tersenyum.

“Arkan! Gue serius, gue pengen tau tentang hidup lu.”

“Nanti lu bakalan tau sendiri,” ucap Arkan dengan berjalan masuk mobil. “Ayo masuk, biar gue antar pulang.”

Dengan langkah berat, aku masuk dan duduk di kursi samping Arkan. Sebenarnya tekadku masih kuat untuk mencari keberadaan ayah, tapi yang dikatakan Arkan itu ada benarnya juga. Untuk apa mencari seseorang yang tidak jelas keberadaannya, sementara di sini ada Papa.

“Nes!”

“Hmmm.”

“Nikah yuk!” ucap Arkan dengan cengengesan.

“Apaan, gue masih sekolah.”

“Ya gak papa, pulang sekolah lu jadi bini gue, pas sekolah, ya lu jadi anak sekolahan.”

“Ah, gak, gak, gak. Masa depan gue masih panjang. Kalau gue nikah sama lu, yang ada gue jadi jantungan.”

“Lu pikir gue petasan.”

“Bukan petasan, tapi meriam!”

Suasana jalanan yang dilalui oleh mobil benar-benar lengang. Hanya ada lampu jalan dan beberapa pemuda yang berkumpul di pinggir jalan. Sementara kendaraan yang lewat sangat terhitung jumlahnya.

Mobil berhenti ketika kami telah sampai ke tempat tujuan, pagar dibuka oleh satpam penjaga. Mobil kembali melesat dan benar-benar berhenti di halaman depan. Aku menghela napas dalam. Perang batin sedang terjadi sekarang. Antara masuk dan menemui Papa, atau tetap berada di mobil sampai Arkan berbuat nekat untuk menggendong.

Om SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang