“Yakin mau pisah rumah?” tanya Om Rudy ketika kami sedang makan malam.
“Iya, Pa. Belajar hidup mandiri, sekalian pembiasaan diri,” jawab Pak Angga dengan menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Tinggal di sini saja apa salahnya?”
“Tidak ada salahnya, Pa. Tapi kalau hidup bergantung pada orang tua, kapan mandirinya?” ucap Pak Angga.
Aku hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka. Dua orang yang berarti dalam hidupku. Om Rudy, cinta pertama yang mengisi hati setelah Papa. Pak Angga, orang yang berstatus sebagai suami, meskipun belum berada dalam tempat istimewa. Jika tinggal di sini, bisa-bisa aku kembali jatuh cinta pada Om Rudy, bukan pada Pak Angga. Dan itu tidak boleh terjadi, cintaku harus jatuh pada Pak Angga, karena dialah suamiku.
“Vanessa, bagaimana?” tanya Om Rudy dengan menatapku.
Aku mendongak. “Kenapa, Om?”
“Loh, Mama ‘kan sudah bilang , manggilnya jangan om tante, tapi papa mama.”
Aku mengangguk dengan tersenyum.
“Setuju pindah ke rumah sendiri?” tanya Om Rudy memastikan.
“Vanessa ngikut Pak Angga aja, Om. Eeh, ngikut Mas Angga aja, Pa.”
“Ya sudah, kalau memang itu keinginan kalian, Papa bisa apa?”
Kehidupan keluarga Pak Angga terasa begitu formal. Datar. Tidak ada pembicaraan yang menarik. Arkan. Sosok itu kembali terngiang, berada di dekatnya selalu membuatku tertawa lepas. Namun, jika teringat ucapannya sebelum akad, membuatku menjadi menyesal telah mengenal dia.
“Kenapa?” tanya Mas Angga. Oke, mulai hari ini aku memanggil Mas Angga. Itu permintaan mamanya.
“Gak,” jawabku dengan datar.
Piring-piring kotor kutumpuk di atas meja. Makanan sisa kembali kumasukkan ke dalam lemari. Bukan untuk mengambil hati mertua, tapi sudah menjadi kewajiban ketika akad sudah terucap.
“Vanessa rajin ya, Pa,” ucap mama Arkan dengan tersenyum.
Om Rudy hanya mendehem. Dia tahu, aku tidak pernah melakukan pekerjaan rumah sebelumnya. Duniaku benar-benar akan berubah. Karena sekarang statusku telah menjadi seorang istri.
****
Mas Angga sudah berbaring di ranjang ketika aku masuk ke kamar. Dari tempatku berdiri, tercium dengan jelas aroma maskulin yang berasal darinya.
“Mas, aku tidur di sofa saja ya,” ucapku dengan berjalan menuju sofa.
“Kenapa?” tanya Mas Angga dengan bangkit dan duduk di tepian ranjang.
“Gak nyaman tidur di ranjang yang ada orangnya.”
Mas Angga turun dari ranjang dan berjalan menuju arahku. Duduk di sisi kiriku, lalu melingkarkan tangan ke pinggangku.
“Aku ini suamimu, Vanessa. Bersikaplah layaknya seorang istri.”
Aku menunduk, tahu, bahkan sangat tahu. Namun, aku belum siap untuk menerima Mas Angga, pernikahan ini tidak pernah kuinginkan.
“Apa tidak ada ruang sedikitpun di hatimu?”
Mataku berkaca-kaca, hatiku telah hancur diremuk oleh Arkan. Di mana lagi Mas Angga aku tempatkan?
“Vanessa.”
Mas Angga mengangkat wajahku dan menatap dengan dalam.
“Aku menikahimu bukan karena kasihan, aku benar-benar mencintaimu. Buat apa aku megorbankan hidupku untuk orang yang sama sekali tidak ada di dalam hatiku?”