Kupercepat langkahku menuju kelas, meninggalkan Pak Angga dengan semua pemikirannya. Lorong demi lorong kulewati dengan perasaan campur aduk. Ah ... lelah juga, mengapa kelas dua belas IPA letaknya paling ujung!
Untung saja guru kimia yang killer belum masuk kelas, sehingga aku bisa masuk dengan bernapas lega. Bangku paling ujung barisan ketiga, adalah bangkuku selama empat bulan ini. Letaknya di sudut, dan tanpa teman. Mungkin inilah hidupku, tidak bisa berbaur dengan orang-orang.
Sejenak di saat aku telah menghempaskan pantat ke bangku, Pak Rustam datang memberi catatan karena guru kimia tidak bisa datang. Aku menghela napas panjang. Setidaknya bisa menenangkan pikiran tanpa ada guru galak itu menerangkan pelajaran.
Gawai yang berada di dalam ransel kuraih. Menyalakan layar dan membuka aplikasi WA untuk melihat pesan dari Om Rudy. Nihil, tidak ada pesan sama sekali. Aku kembali menghela napas berat.
[Om, sibuk? Vanessa pengen jumpa.] Aku mengirim pesan dengan emot sedih di ujung kalimat.
Tidak ada balasan. Aku bangkit dan berjalan menuju luar. Tidak ada panggilan ataupun teguran yang berasal dari ketua kelas. Karena dia sudah paham, ke mana aku pergi ketika tidak ada di dalam kelas.
"Pagi, Buk," sapaku dengan ekspresi datar ketika memasuki perpustakaan.
Wanita yang disapa mengangguk pelan. Aku berjalan menuju rak dan memilih buku apa yang akan menjadi teman. Tiga buah buku psikologi remaja dengan penulis berbeda menjadi pilihan. Buku itu kubawa ke sudut ruangan, duduk di kursi dengan kaki bersilang.
Lembar demi lembar buku kubalik dan baca dengan serius. Mencoba untuk memahami setiap kata yang tertulis di sana. Hingga jam kimia telah berakhir, aku enggan untuk meninggalkan perpustakaan. Sengaja, karena sudah tahu jam selanjutnya adalah jam olah raga.
Malas juga untuk mengeluarkan keringat. Lagipula, Pak Angga tidak akan marah kalau aku bolos untuk kali ini. Lagian, bolosnya bermakna, bukan keluyuran tidak jelas.
Lima belas menit setelah bel pergantian jam berbunyi, Pak Angga datang ke perpustakaan. Mengambil posisi duduk tepat di depanku.
Sorot matanya menatapku dengan dalam. Seolah bertanya mengapa aku tidak mengikuti jam pelajarannya.
"Izin dulu, Pak, untuk hari ini," ucapku tanpa mengalihkan perhatian dari lembaran kertas.
"Kenapa?"
"Malas!"
"Saya masih gak yakin kalau yang kemaren itu calon suami kamu," ucap Pak Angga.
Ya elah, malah bahas itu lagi.
"Yakin gak yakin, dia itu calon suami saya, Pak. Jangan macam-macam sama saya, calon suami saya itu galak, suka gigit orang."
Terdengar helaan napas berat Pak Angga dengan tawa tanpa suara.
"Pak, pemanasannya sudah selesai." Rival, ketua kelas datang memanggil.
Pak Angga bangkit berdiri, sejenak ia terdiam.
"Kali ini kamu saya izinkan," ucap Pak Angga dengan berbalik dan berlalu.
Aku menatap punggung kekar guru olah raga itu. Menatapnya hingga ia menghilang di balik rak buku. Ponsel di dalam saku kuraih, mengecek pesan balasan dari Om Rudy. Tetap tidak ada sama sekali.
[Om, Vanessa pengen ketemu. Ada yang ingin Vanessa bicarakan. Vanessa mohon, temui Vanessa, Om.]
Ponsel kembali kumasukkan ke dalam saku. Lalu bangkit dan berjalan menuju kantin. Memesan mie dan jus jeruk, mengambil posisi duduk di bagian ujung kantin. Ponsel kembali kuraih, centang abu telah berubah menjadi centang biru. Akhirnya Om Rudy membaca pesannya juga. Tertera tulisan sedang mengetik di layar ponsel.