"Arkan?" tanyaku dengan spontan, karena merasa mereka begitu mirip.
"Bukan," jawab Om Rudy dengan datar.
"Vanessa kira Arkan itu anak Om, soalnya mirip."
"Yang tadi?" tanya Om Rudy dengan kening berkerut. Mungkin mencoba untuk mengingat garis wajahnya.
"Hu'um." Aku mengangguk.
"Mirip sih, Om saja sampai pangling. Dia mirip banget dengan Om waktu muda dulu. Tapi dia lebih stylish."
"Syukurlah kalau Arkan bukan anak Om. Soalnya dia itu usil banget. Gak kebayang entar kalau kita udah nikah, bakalan serumah dengan dia," ucapku sambil membayangkan.
Tatapan Om Rudy kosong, matanya menatap lurus jauh ke depan, menembus kaca. Entah apa yang sedang dia pikirkan, aku tidak tahu. Mobil berhenti tepat di depan toilet umum.
"Mau ganti baju?" tanya Om Rudy dengan menatapku sayu.
Aku menggeleng, "Gak bawa baju ganti."
Mobil kembali berjalan dengan kecepatan sedang. Sepertinya menuju pusat perbelanjaan, membayar janji Om Rudy yang sempat tertunda.
Mobil berhenti ketika telah sampai ke tempat tujuan. Om Rudy membuka sabuk dan berniat untuk turun. Ekspresi wajahnya terlihat lebih ceria dari sebelumnya.
"Om." Aku mencekal lengan Om Rudy.
"Ada apa?" tanya Om Rudy dengan alis terangkat.
"Aku takut ada yang mengenali dengan penampilan seperti ini," jawabku dengan ragu.
"Apa kamu malu berkencan dengan Om?"
Aku menggeleng, tidak pernah tebersit sedikitpun di dalam hati dengan apa yang Om Rudy katakan. Hanya saja, feelingku mengatakan lebih baik jangan turun.
"Ya sudah, ayo. Om akan membayar utang janji untuk belanja."
Aku mengangguk dan turun dari mobil, berjalan bergandengan dengan Om Rudy mengelilingi pusat perbelanjaan dengan empat lantai ini.
Sungguh, setiap toko yang kami kunjungi, pemilik dan pelayannya selalu mengira bahwa aku adalah anak dari Om Rudy. Namun, tak apa-apa, sungguh aku suka. Daripada mereka mencibir mengatakan bahwa aku adalah wanita murahan, seperti yang pernah Pak Angga dan Arkan katakan.
Waktu terasa berjalan begitu cepat jika Om Rudy berada di sampingku. Mengelilingi seluruh koridor dari lantai bawah hingga paling atas, tidak bisa membuatku merasa lelah sama sekali.
Sepanjang jalan, aku tidak ingin melepas genggaman dari tangan Om Rudy. Takut jika sampai terpisah, karena aku tidak ingin ada yang memisahkan, kecuali maut. Hingga orang yang kugenggam membawaku ke toko underware wanita.
Ini bukan Om Rudy, dia tidak pernah jahil begini. Kekasihku itu orangnya kalem dan datar, tapi aku suka. Ketika aku menoleh pada pria yang tangannya kugenggam, mataku terbelalak, jantung terasa ingin menggelinding, bukan copot lagi.
"Kutil badak! Kenapa sih gue harus ketemu lu mulu? Eneg gue ngeliat tampang lu yang minta dianiaya."
Aku berusaha untuk menarik dan melepaskan genggaman tangan. Namun, Arkan menggenggam lebih kuat."Heleh, tadi juga lu genggamnya erat beud, takut kehilangan gue ya?" Arkan cengengesan dengan mata kanannya yang berkedip.
"Lepasin, atau gue teriak penculikan!"
Arkan tertawa, menunjukkan gigi-gigi putih yang tersusun rapi. Jakunnya naik turun. Dia terlihat begitu seksi.
"Siapa juga yang mau nyulik lu, yang ada mereka takut duluan ngeliat tampang sangar lu."