"Ya sudah, Bu Asih keluar sekarang. Vanessa mau nenangin pikiran dulu. Makasih sudah mau menjelaskan.”
Bu Asih mengangguk dan beranjak keluar kamar. Sekarang waktunya untuk beraksi! Setelah Bu Asih menghilang di balik pintu, aku bangkit untuk meraih ransel dan mengisinya dengan baju. Tidak lupa untuk membawa ATM dan sisa uang yang ada.
Mungkin untuk sementara waktu aku harus menginap di hotel. Karena rumah ini sudah tidak nyaman lagi untukku. Apalagi aku bukan anak Papa, sama saja dengan menumpang hidup di rumah orang lain.
Bayangan Om Rudy datang menyapa. Apa dia mau untuk membantuku? Aku meraih gawai, mencari nomor Om Rudy dan menekan tombol memanggil. Tidak ada jawaban. Bahkan sampai tiga kali menghubungi, tetap saja sama. Tidak ada jawaban sama sekali.
[Om, Vanessa pergi dari rumah. Mungkin untuk beberapa hari ini Vanessa akan menginap di hotel. Terserah Om mau peduli apa gak, Vanessa cuma mau Om tau, kalau Vanessa akan tetap cinta sama Om.]
Pesan terkirim pada nomor Om Rudy. Tas ransel yang dipenuhi oleh pakaian kusandang di pundak. Lalu keluar lewat jendela agar Papa dan yang lainnya tidak tau. Di pos satpam ada dua orang penjaga. Sangat mudah untuk mengelabui mereka, karena mereka tidak tahu mengenai permasalahan yang ada di rumah.
Dengan langkah cepat, aku melewati dua penjaga itu. Mereka menyapa ramah seperti biasa.
“Mau ke mana, Non?”
“Kerja kelompok,” jawabku.
Mereka hanya mengangguk dengan bibir membentuk huruf O.
Aku berjalan menyusuri jalan dengan sinar terik matahari. Mencari taxi atau apapun yang lewat. Nasib baik berpihak padaku untuk kali ini, tidak perlu menunggu lama. Akhirnya aku mendapatkan taxi juga.
“Ke mana?” tanya pengemudi taxi.
“Jalan saja dulu.”
“Siap.”
Taxi melaju dengan kecepatan sedang. Aku mengaktifkan layar gawai, melihat pesan balasan dari Om Rudy.
[Datang ke apartemen Om saja.]
Aku menghela napas dalam. Akhirnya ada tanggapan dari Om Rudy. Setidaknya aku punya teman untuk berbagi.
“Pak, di depan belok kanan,” ucapku menuntun pengemudi menuju apartemen milik Om Rudy.
Mobil berhenti ketika kami telah sampai ke tempat tujuan. Aku merogoh ransel untuk mengambil uang membayar taxi, lalu masuk dan menaiki anak-anak tangga menuju lantai delapan.
Om Rudy sudah pernah membawaku untuk mengunjungi apartemennya waktu ulang tahun ke enam belas dulu. Ada kejutan dan pesta kecil yang dia berikan. Jadi, aku sudah hapal di mana letak apartemen Om Rudy.
Setelah menaiki anak-anak tangga yang lumayan membuat kakiku pegal, akhirnya aku sampai di depan apartemen Om Rudy. Sengaja tidak menggunakan lip, karena kata orang, berjalan kaki bisa mengurangi beban pikiran.
Apartemen Om Rudy terkunci. Aku duduk dengan bersandar di pintu, menunggu kedatangannya. Tidak lama, lalaki itu datang dengan setengah berlari. Dia masih saja sama, tetap menawan.
“Om.” Aku bangkit dan berhambur ke dalam pelukannya.
“Ada masalah apa?” tanya Om Rudy dengan membalas pelukanku.
“Masalah Vanessa banyak Om. Vanessa gak kuat.”
“Sudah, jangan menangis. Ayo masuk, nanti cerita di dalam.”
Om Rudy membuka pintu dan menggandengku masuk. Aku meletakkan ransel di lantai dan menghempaskan tubuh di sofa.
“Sekarang ayo cerita,” ucap Om Rudy.