Nikah Yuk!

10.9K 306 19
                                    

Aku sedang asyik menggeser layar smartphone untuk bermain game saat ada video call melalui WA. Terpampang wajah Arkan yang sedang tiduran di atas ranjang. Dengan memakai kaos hitam polos dan gaya ala rumahan, dia terlihat lebih menawan dari sebelumnya. Heran juga dari mana dia bisa mendapatkan nomorku.

“Ada apa?” tanyaku setelah menggeser ikon hijau.

“Lu gak takut tidur sendirian di kamar? Noh di belakang lu ada sesuatu.”

Seketika bulu kudukku berdiri. Aku bukan anak penakut. Aku bukan anak penakut. Aku bukan anak penakut. Kata-kata itu selalu terapal di dalam hati. Ucapan Arkan barusan telah mampu membuatku merasa takut. Apalagi tidak ada Papa di sini. Hanya Bu Asih di kamar belakang dan dua satpam di pos depan.

Dengan jantung yang berdegup kencang dan debaran dada yang tidak karuan. Aku menoleh dengan pelan. Melihat pada objek yang ditunjuk oleh Arkan. Apalagi ini malam Jumat, game yang barusan dimainkan juga game zombie. Bertambah horor pulalah suasana malam ini.

Arkan tertawa ketika aku menoleh ke belakang dengan raut wajah ketakutan.

“Ada posternya Alan Walker ‘kan?” ucapnya dengan terkekeh.

Aku menghela napas dalam. Menahan emosi agar tidak mengeluarkan kemampuan berbicara lima kali lebih cepat dari orang biasa.

“Lu lama-lama makin ngeselin yak. Mana ini rumah lagi sepi banget.”

“Gue udah nawarin diri buat nemenin lu tidur, tapi lu gak mau. Bukan salah gue.”

“Lu pikir gue cewek apaan? Gue tau niat busuk lu. Entar pas gue tidur, lu bekap mulut gue. Lu ikat kedua tangan dan kaki gue. Terus lu ambil semua harta warisan bokap gue.”

Arkan kembali tertawa. “Sebelum itu, gue gigit habis lu dulu.”

Aku kembali menghela napas dalam. Dengan tangan kiri menopang dagu dan tangan kanan memegang gawai lalu menyandarkan tubuh pada dinding kamar.

“Lu kenapa lagi? Perasaan cemberut mulu.”

“Lu mau gak jadi bokap gue?”

“Hah?! Apaan, orang gue masih muda, masih dua puluh tiga taun. Cuma beda lima taun sama lu. Lebih cocok jadi laki lu.”

“Bukan itu. Buat besok datang ke sekolah. Lu pura-pura jadi bokap gue,” ucapku dengan nyengir.

Dalam hati berdoa semoga Arkan mau melakukannya. Karena Papa sedang ke luar kota untuk mengantar Kak Mega. Lagipula, aku tidak tega jika menunjukkan surat panggilan orang tua pada Papa. Sudah cukup selama ini aku membuatnya kecewa dan tersiksa dengan semua sikap yang aku punya.

Arkan berbalik dengan posisi telungkup. Sekilas, aku melihat perabotan, dinding kamar dan langit-langit tempat Arkan berbaring. Sangat familiar, seperti kamar tamu di rumah ini.

“Liat besok ya, soalnya Stevie juga minta gue buat gantiin bokap,” jawabnya dengan raut wajah tidak enak.

“Eh, lu lagi di kamar sebelah ya? Kok dekorasi kamar lu mirip banget sama kamar tamu di rumah gue?”

“Lha, emang iya. Buat pembiasaan, biar entar lu gak terkejut pas udah satu rumah bareng gue.”

“Coba keluar.”

Aku bangkit dari ranjang dan berjalan menuju luar kamar. Dengan piyama pink polos dan rambut tergerai berantakan. Ditambah wajah natural tanpa polesan make up. Memang, tampang remajaku lebih kelihatan dengan penampilan seperti ini.

Arkan sudah berdiri di depan kamar dengan celana pendek dan kaus ala rumahan. Gayanya terlalu santai untuk tidur di rumah orang. Dia berjalan mendekat ke arahku. Berdiri tepat di hadapan.

Om SayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang