Dadaku terasa sesak, wajah memanas, ditambah panas oleh cuaca yang membakar ubun-ubun. Dengan langkah yang dipercepat, aku mendekat pada dua orang yang sedang duduk dengan mesra di depan Cafe Arjuna.
Tanpa terkontrol, aku meraih gelas yang berisi jus jeruk dan menyiramkannya pada wajah wanita murahan itu. Dia menjerit dan berdiri untuk membersihkan wajah dan gaunnya yang basah.
"Vanessa, apa-apaan kamu ini?!" lelaki empat puluh tujuh tahun itu berdiri dan mengayunkan tangan setinggi kepala.
"Pa, istri Papa itu sedang hamil tua di rumah, enak sekali Papa berduaan dengan wanita murahan ini!" Aku menunjuk dan menatap wanita itu dengan tajam.
"Apa begitu cara Mamamu mendidik anak? Papa tidak pernah mendidikmu untuk berkata kasar seperti itu!" Tangannya turun secara perlahan, entahlah, mungkin tidak tega untuk memukul anaknya.
"Belum puas hati Papa membuat Mama terserang struk dengan ulah Papa yang menghamili anak orang?"
Pandanganku mengabur, dihalangi oleh kaca-kaca yang hampir meleleh. Kepalaku tertarik ke belakang akibat jambakan wanita itu. Tidak ada pembelaan yang berasal dari Papa. Dia biarkan saja anak semata wayangnya dianiaya oleh pacarnya.
Plak!
Satu tamparan mendarat dengan keras di wajah wanita itu. Tergambar dengan jelas telapak tangan warna merah di pipi kirinya.
"Mas!"
Dia berlari ke pelukan Papa. Mengadu dengan rasa sakit yang dia rasa. Pipinya yang ternoda oleh telapak tanganku dielus lembut oleh cinta pertamaku. Bukan lagi amarah yang aku rasa, melainkan rasa jijik dengan apa yang terlihat di depan mata.
Aku berbalik, mengusap ujung mata yang basah oleh kristal bening rasa kecewa. Papa, yang dulu selalu aku banggakan, menjadi orang pertama yang mengisi rasa sakit di dalam dada sejak empat tahun belakangan.
Aku bisa merasakan apa yang Mama rasakan ketika mengetahui Papa menghamili pembantunya sendiri. Pembantu yang Mama bawa dari desa ketika liburan dulu. Bukan hanya marah dan kecewa kepada Papa, tapi juga merasa malu kepada orang tua Kak Mega, pembantu yang dihamili oleh Papa.
Tiiiin!
Hampir saja tubuhku berbenturan dengan kendaraan yang sedang melintas di jalan besar. Aku menoleh dan meminta maaf ketika mereka mengeluarkan sumpah serapah."Ayo ikut." Seseorang menarik tanganku dengan paksa.
Dia meminta agar aku mengikuti langkahnya menuju mobil putih yang terparkir tidak jauh dari tempatku memergoki Papa yang sedang berkencan. Dengan lembut, aku disuruh masuk dan duduk di dalam. Sementara dia pergi entah ke mana.
Aku tidak tahu siapa lelaki itu, dan mengapa permintaannya kuturi begitu saja. Yang aku tahu, aku sedang terluka dan membutuhkan tempat untuk menumpahkannya. Di dalam mobil, aku tumpahkan semua rasa sakit. Memaki diri sendiri mengapa harus terlahir di tengah keluarga yang berantakan.
"Ini, ambil. Lu jelek kalau lagi nangis," ucapnya dengan mengulurkan sapu tangan warna biru langit. Entah kapan dia kembali, aku tidak tahu.
"Lu Vanessa 'kan?" Dia bertanya dengan menjilat eskrim di tangan kanannya.
Aku mengangguk.
"Kenalin, gue Arkan." Dia memindahkan eskrim ke tangan kiri dan menjulurkan tangan kanannya yang basah.
"Lu kenal gue dari mana?" tanyaku tanpa menerima uluran tangannya.
"Lu gak perlu tau, yang jelas, gue bukan orang jahat. Tapi, kalau lu mau dijahatin, kita nyari hotel sekarang," ucapnya dengan wajah datar.
Brengsek, semua cowok sama saja! Mereka pikir aku cewek apaan?
Aku bergegas untuk turun dan membuka pintu. Namun, tertahan oleh cengkramannya di lengan.