Benar kata orang, cinta akan tumbuh dengan sendirinya karena terbiasa. Terbiasa akan kehadirannya dan terbiasa menghabiskan waktu bersama. Seiring berjalannya waktu, bayangan Arkan mulai memudar. Cinta untuk Mas Angga mulai tumbuh di dalam hati. Apalagi sikapnya begitu lembut dengan semua perhatian yang dia berikan. Ya meskipun dia begitu kaku dan datar. Berbanding terbalik dengan Arkan.
Aku sedang belajar membuat bakwan saat seseorang mengetuk pintu depan. Cepat, aku matikan kompor dan berjalan untuk membukakan.
“Ada kiriman,” ucap seseorang dengan memberikanku seikat bunga mawar.
“Dari siapa?” tanyaku dengan menerima uluran itu.
“Itu rahasia, dia tidak ingin disebutkan namanya.” Pria itu pergi setelah berhasil menyerahkan bunga.
Pintu kembali tertutup. Aku berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuh di sana. Memeriksa nama dari pengirim bunga. Tidak ada nama, hanya sebuah surat dengan tulisan tangan yang indah.
Pintu diketuk lagi oleh seseorang. Belum sempat aku membaca isi surat itu. Aku menghela napas panjang dan bangkit untuk membuka pintu.
“Papa!” Cepat, kupeluk tubuh lelaki kekar itu.
Sudah dua bulan semenjak aku menempati rumah ini, belum pernah lagi bertemu dengan Papa. Rindu berat, pastinya.
“Angga belum pulang ngajar?” tanya Papa dengan masuk dan menghempaskan tubuh ke sofa.
Aku menggeleng, “Belum. Biasanya sekitaran jam tiga.”
“Ada bunga? Angga yang ngasih?” tanya Papa dengan meraih bunga itu.
“Gak tau, Pa. Tadi ada yang ngasih, tapi gak disebutkan namanya.”
Papa membuka surat yang tertera di dalamnya. Membaca isinya dengan eskpresi yang sulit untuk diungkapkan. Lalu melipat surat itu dan memasukkan ke kantung baju.
“Sudah kamu baca?”
“Belum.”
“Lebih baik jangan, bukan dari Angga.”
Papa bangkit dengan membawa bunga itu dan membuangnya ke tong sampah. Tebakanku pasti dari Arkan.
“Kapan Papa akan punya cucu?” tanya Papa dengan kembali menghempaskan tubuh ke sofa. Dia tersenyum menatapku.
“Ah, Papa. Baru juga nikahnya, udah nanya cucu saja.”
“Sebaiknya jangan ditunda, lebih cepat akan lebih baik,” ucap Papa.
Aku hanya mengangguk dengan tersenyum.
***
“Cicipi, Mas.” Aku menyuguhkan sepiring bakwan yang tidak sama rata warnanya.
“Kamu yang masak?”
“Iya.”
Mas Angga meraih satu potong bakwan dan menggigitnya dengan kuat. Sangat kuat, bahkan urat lehernya sampai terlihat. Dia memalingkan wajah saat aku memerhatikan.
“Kenapa? Tidak enak?” tanyaku dengan mengerutkan kening.
“Emmm, enak, enak,” jawabnya dengan masih menggigit bakwan. “Pakai tepung apa?”
“Tepung beras.”
“Semuanya?”
Aku mengangguk. Mas Angga tersenyum dengan mengambil gelas dan meletakkan bakwan yang sudah digigitnya kembali ke atas piring. Aku mengerutkan kening, merasa heran. Mengambil sepotong bakwan dan mencobanya.
“Keras! Pahit! Asin!” ucapku menjelaskan hasil masakan hari ini.
“Lumayan, ada peningkatan dari yang kemarin,” jawab Mas Angga dengan tersenyum.
Senyumnya begitu manis. Lebih manis dari empedu. Itu pahit, Vanessa! Eh, salah, lebih manis dari madu. Hal itulah yang aku sukai darinya. Senyumnya mampu menenangkan hatiku.
“Mas,” panggilku dengan ragu.
“Hemm.”
“Papa minta cucu.”
“Uhuk!” Mas Angga tersedak mendengar ucapanku.
“Lalu?” pancingya dengan senyum menggoda.
“Gak ada, cuma mau bilang kalau papa minta cucu. Bukan berarti aku meminta Mas untuk itu.”
Mas Angga berdiri sambil tersenyum. Kemudian berjalan ke arahku dan berbisik.
“Ya sudah, tunggu apalagi. Ayo kita tuntaskan keinginan papa.”
Aku membelalak. Tolak, apa tidak. Mas Angga sudah menunggu lebih dari dua bulan. Dengan lembut, Mas Angga mengangkatku dalam gendongannya, lalu membawa ke dalam kamar.
Sekarang?!
Tubuhku dihempaskan dengan lembut ke atas ranjang. Satu persatu, kancing kemejanya ia buka. Hingga dadanya benar-benar telanjang. Sudah sering dada itu terpampang di depan mata, selalu menggoda. Seksi.
Keringat dingin mengucur dari keningku ketika Mas Angga mulai membuka celananya.
Ingin teriak? Bukankah dia suamimu, Vanessa! Bukankah kau mencintainya sekarang? Batinku mendebat.
“Jangan takut, aku tidak akan membuatmu sakit,” ucap Mas Angga dengan mengawali permainannya.
Aku merasa begitu lelah setelah melakukan pergumulan dengan Mas Angga. Dia mendekapku begitu erat setelah permainan selesai. Hingga kami tertidur dalam selimut yang sama.
Takut? Sekarang sudah tidak lagi. Kenekatan Mas Angga untuk memulai di saat aku masih merasa takut merupakan keputusan yang terbaik. Daripada selalu menunggu sampai aku siap dan mau untuk melakukan. Bisa jadi aku tidak akan pernah bisa untuk siap.
Meskipun di awal ada airmata yang mengalir, pada akhirnya aku menerima dan menikmati permainan. Kenekatan Mas Angga telah menanamkan bibit cinta lagi di dalam hati. Aku harap, bibit itu akan terus tumbuh dan berkembang.
***
Berawal dari sore itu, setiap malam, kami selalu memadu kisah di atas ranjang. Rasa cinta semakin dalam tertanam di dalam dada. Mas Angga memang tangguh, Om Rudy benar.
Pagi ini, saat Mas Angga akan pergi ke sekolah, dia terlihat begitu menawan dari sebelumnya. Ternyata ketika kita mau menerima dan mencoba untuk mencintai suami sendiri, dia akan terlihat begitu berkharisma dan menawan.
“Kenapa?” tanya Mas Angga ketika melihatku tersenyum memandangnya.
“Aku cinta kamu, Mas,” ucapku dengan sedikit malu.
Mas Angga hanya tertawa sambil mengacak rambutku.
“Aku juga cinta kamu,” ucapnya dengan memberikan satu kecupan di bibirku. “Aku berangkat kerja dulu, jangan rindu,” ucap Mas Angga dengan tersenyum.
Aku membalas senyumnya dan memberikan lambaian tangan saat mobil yang dikendarainya mulai menjauh dari halaman rumah.