Wajah Arkan sudah kukoyak, kucabik berkali-kali dalam hati. Untuk apa melamar, jika begini akhirnya. Hanya untuk mempermalukanku di hadapan semua orang. Arkan, kamu sudah mati!
Aku ingin bangkit, berlari menuju kamar. Namun, kekuatanku rasanya telah hilang semua. Bahkan untuk berteriak pun aku sudah tidak ada suara. Arkan, kamu keterlaluan, bajingan!
Suasana masih ramai. Para tamu undangan tidak ada yang meninggalkan ruangan. Entah menaruh simpati atau hanya ingin menyaksikan keterpurukan orang, aku tidak tahu. Papa kembali dan berlari ke arahku. Dia berlutut dan membawaku ke dalam pelukannya.
“Maafkan Papa. Ini salah Papa. Tidak seharusnya Papa menjodohkanmu dengan Arkan. Jika tau begini jadinya, Papa tidak akan pernah rela.”
Aku semakin terisak di dalam pelukan Papa. Punggung tangannya dipenuhi oleh bercak darah. Mungkin darah dari hidung Arkan atau bibirnya, aku tidak tahu.
“Pa, kenapa hidup Vanessa tidak pernah bahagia, Pa, kenapa?”
“Kamu salah, Nak. Kamu akan bahagia setelah ini. Percayalah pada Papa.”
Untuk sejenak, suasana benar-benar tegang. Senyap, hanya isak tangis yang terdengar. Bahkan para tamu undangan pun tidak ada yang berani untuk mengeluarkan suara. Ayah Arkan bangkit dari duduknya dan menghampiri Papa.
“Bakti, saya dan keluarga besar saya meminta maaf atas semua kejadian ini,” ucap lelaki paruh baya itu dengan menepuk lembut pundak Papa.
“Lepas, jangan pernah temui keluarga saya lagi. Cukup sudah kerja sama kita sampai di sini. Saya tidak akan pernah rela untuk berurusan dengan keluarga Dwitama lagi,” ucap Papa tanpa menoleh pada ayah Arkan.
Aku masih tetap terisak dengan pundak naik-turun. Merasa menjadi wanita yang paling malang di dunia. Mengapa kebahagiaan tidak pernah berpihak kepadaku, Tuhan?!
Pak Angga bangkit dari duduknya. Aku pikir dia akan pulang setelah menyaksikan semuanya, lalu bercerita pada Om Rudy dengan apa yang telah terjadi. Namun, dugaanku salah. Dia menghampiri aku dan Papa. Mengambil posisi seperti Papa dan memberikan kata-kata semangat yang menguatkan.
“Pak Bakti, saya Angga, guru olah raga Vanessa di sekolahnya. Bukannya saya ingin memperkeruh suasana, tapi, jika Bapak mengizinkan, saya siap untuk menggantikan posisi Arkan,” ucap Pak Angga yang membuatku berhenti menangis secara mendadak.
“Saya percaya bahwa putri Bapak tidak seburuk yang Arkan ucapkan. Karena saya kenal betul dengan putri Bapak.”
What? Bukannya Pak Angga pernah mengatakan bahwa dia benr-benar kecewa terhadapku karena mengetahui hubunganku dengan ayahnya? Apa-apaan ini? Apa dia akan melakukan hal yang sama dengan Arkan?
“Saya siswamu, Pak. Tidak mungkin kita menikah.”
Aku menegakkan tubuh, mengusap kedua pipi yang basah. Gaunku terlihat begitu berantakan.
“Bagaimana, Pak,” tanya Pak Angga pada Papa tanpa peduli ucapanku.
“Baiklah, saya setuju. Ngomong-ngomong, berapa usiamu? Kamu terlihat begitu dewasa, pasti usiamu berbeda jauh dengan Vanessa.”
“Usia saya 28 tahun, Pak,” jawab Pak Angga dengan membungkukkan tubuh.
Jangan terima, Pa! Aku ingin menolak, tapi suara tercekal di kerongkongan.
“Jika memang kamu bisa membuat Vanessa bahagia, kenapa tidak.”
Papa!
Pak Angga tersenyum, manis sekali. Jarang-jarang bisa menyaksikan lelaki kaku itu tersenyum. Papa mengusap pipiku, membersihkan sisa airmata yang masih tertinggal.