Seluruh pihak istana serta para rakyat Padjajaran kini sudah berkumpul dialun alun istana, untuk menghantar kepergian kian Santang.
"Dimana ibunda?" Tanya kian santang, sekarang dirinya sudah berpakaian seperti layaknya rakyat biasa. Dengan tas selempang kain bergantung di pundaknya.
"Ibunda berada didalam wisma Rayi"
"Dirinya enggan melihat kepergian dirimu,"
"Aku akan menemui ibunda, untuk terakhir kalinya," kaki kian Santang melangkah maju kembali kedalam istana, namun tiga langkah sebelumnya ia sudah dicegat oleh Siliwangi
"Percuma saja kau membujuknya putraku, ibunda mu sedang dalam kalut. Jika kau memaksanya, itu akan memperburuk keadaan." Usul Siliwangi, hal itu membuat kian Santang mengurungkan niat nya
Dirinya menghela nafas panjang, ia pun mau tak mau harus mengurungkan niatnya, langkah kian Santang menuju Siliwangi
Dengan refleks kian Santang memeluk Siliwangi. Tangan sang Maharaja pun terangkat mengelus kepala sang putra yang sudah terbebas dengan mahkota dan tergantikan dengan seikat kain
"Jagalah dirimu baik baik putra ku." Sepatah kata, namun terdengar sangat berdenyut dihati sang empu
"Kembalilah, dengan keadaan tanpa kurang apapun" Siliwangi melepaskan dekapannya beralih memegang kedua bahu kian Santang.
"Bahu ini jangan sampai, terhuyung oleh ceomoohan atau hantaman, ditengah tengah kau tidak memiliki Kanuragan,"
"Hadapilah dengan hati yang jernih, jangan sampai termakan oleh amarah mu sendiri." Kian Santang pun hanya mengangguk, Nasihat dari ayahandanya, akan selalu ia sematkan.
Kian Santang pun, melangkah kan kaki menuju gerbang keluar gapura istana, diluar istana sudah banyak para rakyat yang sudah berbaris memanjang menantikan kepergiannya
Langkah demi langkah ia hadapi, melewati atasan, punggawa, serta rakyat Padjajaran dengan tatapan yang kurang mengenakkan dipandangan kian Santang
"RAYIII!"
Suara wanita begitu nyaring dari ambingan pintu istana berlari menghampirinya
"Yundaa .."
Rara Santang berlari membawakan sebuah buku kitab yang berada dalam dekapannya, matanya menyembab menatap wajah sang adik yang berada dihadapannya untuk saat ini
"Bawalah Al - Qur'an ini. Jika kau teringat akan yunda dan ibun—"
"Aku akan membawa dan membacanya setiap saat yunda .. " ia tersenyum tipis, mencium tangan rara Santang, lalu berbalik untuk melanjutkan niatnya
Kian Santang kini sudah berada di luar gapura istana, ia menatap bangunan kokoh tempat awal dirinya mengenal akan dunia
Bermain bersama, kejahilan, maupun kenakalan yang ia buat hanya semata mata, sebuah kemakluman saat itu. Namun saat ini dirinya sudah tumbuh menjadi seorang pemuda, rasanya baru kemarin dirinya bermain kejar kejaran dengan yunda rara.
"Tak semua kehidupan berjalan sesuai kenyataan. Diri ini hanya selembar daun yang akan gugur nantinya,"
"Ibunda .."
Tak dapat terbendung lagi air mata sang empu, disaat melihat' ratu Subang Larang yang termenung dari jendela wisma melihat dirinya disini
"Jaga dirimu baik baik ibunda"
oOo
"Ahh! .. sudah berkali kali diriku, berkeliling ditempat ini!" Gerutu Surawisesa dirinya sudah berkali kali berkeliling hutan belantara ini, namun tidak menemukan dimana letak, gapura Padjajaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
-Putra Mahkota-
Ficção Históricahanyalah sebuah Fiktif belaka yang dikarang dengan imajinasi penulis yang dituangkan ke dalam cerita tersebut, tidak ada sangkut pautnya dalam sejarah hanya mengambil 20% dari 100% dari cerita faktanya termasuk pemeran. •angst •kolosal •religi Dim...