BAB 1: Keinginan Terbesar Aarline

148 14 0
                                    

'Tak ada seorang anak pun yang ingin dilahirkan berbeda dengan anak lainnya. Aku juga demikian. Jika ditanya hati terdalam, aku ingin lahir sebagai anak normal tanpa memiliki kekurangan. Tidak mudah menjalani hidup dalam keterbatasan, apalagi membuat orang-orang memahami keinginanku. Meski demikian, terus menjalani hidup adalah pilihan terbaik yang harus dilakukan. Hanya satu harapanku yaitu lulus SMA di sekolah umum dan mendapatkan gelar sarjana Sastra di Universitas terkemuka. Bisakah impian itu terwujud?'

Mata biru jernih itu menatap lama buku diari yang baru saja ditutup. Desahan pelan keluar dari sela bibir. Perlahan gadis berambut pirang tersebut menyandarkan tubuh di punggung kursi.

Perlahan tilikan manik biru bergerak melihat wallpaper laptop yang menampilkan foto hitam putih wanita paruh baya, mengenakan gaun dan topi dihiasi bunga menutup sebagian kepala. Wanita tersebut sedang tersenyum tanpa melihat ke arah kamera yang mengabadikan gambarnya.

Wanita itulah yang menginspirasi Aarline untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum.

Jika Helen Keller bisa menyelesaikan pendidikan di Harvard University, kenapa aku tidak bisa lulus di universitas terkemuka juga?

Itulah yang selalu memacu dirinya untuk meraih impian dan mewujudkan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Seorang penderita buta dan tuli seperti Helen Keller mampu menamatkan gelar Bachelor of Arts di Universitas Harvard. Dia juga berhasil menjadi penulis terkenal di Amerika. Buku The Story of My Life yang ditulisnya bahkan dijadikan film di berbagai Negara.

"Aarline." Tiba-tiba terdengar suara memanggil dari luar kamar.

Seorang wanita paruh baya berparas khas perempuan Indonesia muncul di sela pintu sambil menarik napas singkat. Dia menepuk bahu mungil itu pelan, sehingga membuat gadis bernama Aarline menoleh ke belakang.

"Ini kenapa nggak dipasang?" tanya Raline—wanita yang telah melahirkannya—dengan melebarkan mata.

Raline Rahardian adalah seorang produser terkenal di Inggris. Dulunya wanita itu mengawali karir sebagai produser film di Indonesia, namun setelah menikah dengan Aaron Brown—pengusaha di bidang property—ia memilih pindah ke London dan memulai lagi karirnya di sana.

Belasan tahun tinggal di negeri Ratu Elizabeth itu tidak membuat Raline melupakan bahasa dan budaya Indonesia. Sehari-hari ia berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan kelima buah hati dan juga suaminya. Wanita itu juga mengajarkan bagaimana menjadi orang timur, meski hidup di negeri barat.

Raline menyodorkan Alat Bantu Dengar (ABD) kepada putrinya dengan tatapan memohon. Dia tahu persis sejak kecil, Aarline tidak suka menggunakan benda tersebut. Walau telah mengetahuinya, tetap saja ia terus meminta Aarline memasangkannya di telinga.

Aarline hanya menggeleng pelan sambil menunjuk ke telinga, lalu menempelkan tiga jari bagian tengah di kening.

Telingaku sakit, Mommy. Membuat tidak nyaman.

Dia mengepal jari tangan kanan, lalu ditempelkan di dada sambil mengusapnya pelan.

I am sorry.

Raline mengangguk paham sambil membelai lembut pinggir kepala putrinya. Dia memberi kecupan di kening Aarline beberapa detik. Netra cokelat miliknya menatap kedua mata gadis itu bergantian.

Mommy.

Aarline menepuk pelan lengan ibunya. Dia kembali memberikan gerakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan Raline.

Aku ingin belajar di sekolah umum, Mommy.

"Maksud kamu sekolah inklusi?"

Aarline menggeleng lagi. Sekolah umum, bukan inklusif.

ISYARAT [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang