Pagi hari, wajah Aarline tampak bersinar. Tugas yang diberikan guru PPKN satu minggu yang lalu, telah diselesaikan berkat bantuan dari Cleve. Pada akhirnya, ia tidak dimasukkan ke dalam kelompok manapun karena ditolak oleh Rani. Kelompok lain juga tidak mau menerima dirinya.
Sissy menjadi heran dengan teman-teman sekelasnya, karena beranggapan Aarline tidak tahu apa-apa tentang negara Indonesia. Dia sempat melayangkan protes pada saat itu, namun Aarline mengatakan akan berusaha membuktikan bahwa dirinya bisa melakukan tugas tersebut seorang diri.
"Tugas PPKN udah dibawa, 'kan?" tanya Cleve sebelum berangkat.
Aarline mengangguk dan mengangkat kertas ukuran HVS yang telah dijilid.
"Good! Kita harus tampar mereka dengan ini. Buktikan kamu bisa dan paham tata negara Indonesia," ujar Cleve menyemangati.
Gadis itu tersenyum lebar. Tampak binar di matanya saat ini. Dia tidak akan menyerah begitu saja meski disudutkan di kelas itu. Aarline akan membuktikan, meski tumbuh dan besar di London, ia masih tahu sejarah dan tata negara Indonesia. Teman-temannya tidak tahu kalau ia memiliki seorang Ibu yang nasionalis dan cinta terhadap bumi pertiwi Indonesia. Ditambah lagi Cleve yang selalu siap membantunya mengetikkan tugas tersebut.
"Berangkat sekarang?" Cleve mengerling ke arah tangga.
"Iya dong," sahut Aarline.
Kedua remaja itu segera turun ke lantai dasar. Setelah berpamitan dengan Varischa dan Daffa, mereka langsung berangkat ke sekolah.
Seperti biasa tidak ada percakapan sepanjang perjalanan. Cleve mengendarai motor lebih pelan dari biasanya. Dia ingin menikmati udara yang masih terhitung segar di jalanan ibu kota Metropolitan ini. Apalagi hujan sempat mengguyur semalaman, sehingga memberi nuansa sejuk di pagi hari. Sesekali ia melirik kaca spion kanan dan melihat Aarline juga tersenyum lebar pertanda menikmati udara pagi.
"Aarline," panggil Cleve sambil melepas tangan dari setang kiri lalu menepuk punggung tangan Aarline yang ada di pinggangnya.
Gadis itu langsung menoleh ke kaca spion, karena tahu ada yang ingin dikatakan Cleve.
"Weekend akhir bulan mau jalan ke puncak nggak? Kita pergi bareng Mami dan Papi," tanya Cleve.
Kening Aarline berkerut di balik kaca penutup helm. Dalam hitungan detik kaca pelangi itu terbuka.
"Nggak bisa lihat. Bibir kamu tertutup," jawab Aarline menggelengkan kepala.
"Astaga, aku lupa lagi pake helm full face," gumam Cleve pelan. Dia mengangkat tangan kiri, lalu melakukan gerakan seakan melompat ke depan dengan daun tangan. "Nanti aja."
Mereka kembali diam ketika motor terus melaju menuju sekolah Nusa Persada.
Tak lama kemudian, kedua remaja tersebut tiba di pekarangan sekolah. Setelah memarkir kendaraan, mereka bergerak memasuki gedung.
"Tadi mau ngomong apa?" Aarline menjadi penasaran.
"Mau tanya kamu mau nggak ke puncak weekend akhir bulan ini? Nanti ajak Mami dan Papi sekalian."
Bibir tipis tersebut saling menjepit seiringan dengan bola mata yang bergerak ke atas. Perlahan kepala Aarline mengangguk.
"Oke. Jalan-jalan," sahutnya kemudian.
"Entar aku bilang ke Mami ya. Sekarang masuk dulu gih. Aku nggak sabar dengar cerita kamu nanti." Cleve tersenyum geli membayangkan bagaimana reaksi teman sekelas yang meremehkan Aarline.
"Nanti aku cerita. Bye," ucap Aarline melambaikan tangan.
Setelahnya Cleve naik ke lantai tiga, sementara Aarline beranjak ke kelasnya. Sissy dan Ceria ternyata sudah menanti di depan pintu masuk kelas. Mereka segera menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...