Hari pertama sekolah
Sekolah nasional plus Nusa Persada pagi ini tampak lebih ramai dari biasa. Ada banyak orang tua murid yang mengantarkan anak-anak mereka pada hari pertama sekolah. Begitu juga dengan Aarline. Daffa dan Varischa mewakili kedua orang tua gadis itu mengantarkannya ke sekolah.
Raline sebenarnya ingin sekali pulang ke Indonesia dan menemani Aarline pada hari pertama bersekolah, namun waktunya bertepatan dengan hari rilis film yang ia produseri.
"Nanti pulang sama Cleve dijemput supir ya," ujar Varischa setelah turun dari mobil.
Aarline memerhatikan gerak bibir tantenya, sebelum menganggukkan kepala.
"Tadi uncle udah telepon supir suruh jemput jam 14.00," imbuh Daffa sebelum mengalihkan pandangan kepada Cleve. "Kamu janjian aja tunggu di mana gitu sama Aarline. Jangan pulang dulu kalau Aarline belum pulang."
"Siap. Tenang, Pi. Aku bakalan tunggu. Kasihan nanti nangis nggak tahu jalan pulang," tanggap Cleve mengerling usil kepada Aarline.
Gadis itu menyipitkan mata meski hanya tahu sebagian kata yang diucapkan Cleve. Dia mengalihkan pandangan kepada Daffa yang bersiap bicara lagi.
"Kamu baik-baik ya, Aarline. Kalau ada apa-apa langsung bilang Cleve aja." Daffa mengusap puncak kepala Aarline pelan, agar tidak mengacak tatanan rambut kepang duanya.
Aarline mengangguk sambil melempar senyum manis.
"Makan siang yang banyak, agar kamu punya banyak tenaga di lapangan nanti," nasihat Varischa memberi pelukan singkat kepada gadis itu.
"Oke," sahut Aarline sembari melingkarkan ibu jari dan telunjuk.
Setelahnya suami istri tersebut menaiki kendaraan roda empat yang mengantarkan mereka ke sekolah. Sementara kedua remaja itu membalikkan tubuh bersiap memasuki pekarangan sekolah.
Aarline tampak menarik napas panjang dengan raut gugup menghiasi paras cantiknya. Dia mengusap samping celana olahraga yang dikenakan.
"Kenapa? Kamu gugup?" tebak Cleve tahu dari gerak-gerik sepupunya.
Gadis itu tersenyum samar membenarkan tebakan Cleve.
Lelaki itu menggenggam kedua bahu Aarline, lalu menatapnya lurus. "Ingat kata-kataku kemarin. Kamu harus percaya diri. Jangan biarkan perasaan galau mengalahkan semangat yang ada dalam diri kamu. Masalah siswa lain, anggap aja sebagai proses seleksi dalam berteman."
"Jangan lupa, orang yang akan tetap berada di sisi kamu adalah mereka yang tulus sayang sama kamu," sambungnya lagi dengan raut serius. (Cie Cleve, maksudnya kamu ya? Uhuk)
Kepala Aarline bergerak ke atas dan bawah, pertanda mengerti dengan perkataan Cleve yang meski panjang tapi masih diucapkan dengan pelan agar ia mengerti.
"Sekarang kita masuk ya? Kamu harus berbaris dulu di lapangan."
Lagi-lagi Aarline mengangguk patuh.
Keduanya melangkah memasuki pekarangan sekolah. Beberapa orang tua murid yang mengantarkan anak-anak mereka, sudah tidak terlihat lagi di sana. Mereka hanya diperbolehkan mengantarkan siswa hingga batas yang telah ditentukan.
Pandangan Aarline melihat random siswa yang berpenampilan seperti dirinya. Mereka mengenakan baju kaus lengan pendek hingga siku, berwarna abu-abu dipadu dengan celana panjang berwarna merah bata. Siswa perempuan mengepang rambutnya menjadi dua di kiri dan kanan. Sementara siswa laki-laki memotong rambutnya cepak, seperti tentara.
"Kamu ke sana gih. Aku mau ke lantai dua dulu," suruh Cleve melirik ke lapangan yang mulai dipenuhi siswa baru.
Sorot mata Aarline tampak tegang melihat ke lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...