When one door of happiness closes, another opens; but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us.
-Helen Keller-
Tiga tahun kemudian
Aarline sedang duduk menanti penerbangan berikutnya di Bandara Udara Internasional Schiphol, Amsterdam. Masih tiga jam sebelum jadwal penerbangan lanjutan ke Jakarta. Untuk mengisi waktu, ia membuka aplikasi chat. Senyum mengambang di bibir tipisnya ketika melihat sebuah pesan masuk dari Cleve.
Cleve: Aku baru bangun tidur, langsung kangen sama kamu. Kamu udah sarapan?
Cleve: Eh, lupa. Pasti sekarang kamu lagi tidur nyenyak ya?!
"Lagi chat sama siapa sih sampai senyum-senyum kayak gitu?" goda Raline yang duduk di sampingnya.
Mata Aarline membulat ketika ibunya telah kembali dari membeli roti di outlet tak jauh dari ruang transit. Dia langsung mematikan layar ponsel, agar Raline tidak melihat siapa yang mengirimkan pesan.
"Bu-bukan siapa-siapa," gagap Aarline salah tingkah.
Netra cokelat Raline menyipit seketika. "Masa sih? Kamu kayak orang lagi jatuh cinta deh. Ayo cerita sama Mommy siapa dia."
Aarline menggeleng cepat dengan tangan bergoyang di depan tubuh. "Nggak ada. Beneran, Mom."
Wanita paruh baya tersebut menarik napas, lalu tersenyum. Dia membelai rambut pirang Aarline dengan penuh kelembutan.
"Mommy udah kenal kamu sejak kecil, Sayang. Percuma bohongin Mommy." Raline kembali tersenyum usil. "Mau jujur?"
Raline tidak lagi berbicara dengan pelan. Dia mengucapkan kata demi kata dengan normal, karena Aarline sudah bisa membaca gerak bibir meski cepat.
Selama tiga tahun ini, Aarline terus berusaha belajar membaca gerak bibir. Dia juga menonton film-film berbahasa Inggris dan Indonesia untuk melatih kemampuannya. Usaha gadis itu tidak sia-sia. Semua dilakukan agar bisa menyesuaikan diri ketika duduk di bangku universitas nanti.
Jika saja Aarline tidak lagi menggunakan bahasa Isyarat ketika sedang berbicara, maka orang-orang akan mengira ia tidak mengalami masalah pendengaran. Gadis itu masih menggunakan sign alias bahasa Isyarat dalam berkomunikasi agar menunjukkan identitas diri yang sesungguhnya.
Aarline menatap wajah Ibunya yang mulai menua. "Nanti Mommy marah," ujarnya hati-hati.
"Marah kenapa? Kalau anak bahagia, kenapa harus marah?" Raline jadi tambah penasaran.
"Janji nggak marah?"
"Janji."
"Beneran?"
"Iya, Sayang. Sekarang cerita sama Mommy." Raline bersiap mendengar pengakuan putrinya.
Aarline menarik napas panjang terlebih dahulu. Kedua tangannya saling bertautan erat di atas paha.
"Tadi itu Cleve," ungkap Aarline nyaris membuat senyuman di wajah Raline menghilang.
Secepatnya wanita paruh baya itu kembali tersenyum bingung. "Maksud kamu?"
"Aku dan Cleve dekat, tapi nggak pacaran."
Raline memandang lekat putrinya. Dia berusaha tidak menunjukkan rasa terkejut yang masih menguasai diri saat ini.
"Sejak kapan?"
"Terakhir bertemu di Jakarta." Aarline tersenyum manis mengenang kebersamaan mereka di Puncak. "Ternyata Cleve udah lama suka sama aku, Mom."
Wanita paruh baya tersebut kembali menarik bibir lebar. "Oya? Bukannya dia kaku waktu pertama bertemu sama kamu di Jakarta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...