Satu minggu kemudian
Raline sedang memandang wajah Aarline lekat. Sorot matanya kembali sendu. Secercah kegetiran terpancar dari manik cokelat terang miliknya. Wanita paruh baya itu, baru saja tiba di Jakarta tadi sore dan pagi besok harus memenuhi panggilan pihak sekolah terkait kasus yang menimpa Aarline satu minggu lalu.
"Aarline nggak salah, Tan. Menurut teman-temannya dia dijebak oleh Mutia dan Lestin," jelas Cleve tidak ingin tantenya salah paham kepada Aarline, "salah satu dari saksi itu bersekongkol dengan mereka. Saksi satu lagi bisa jadi diancam."
Pandangan Raline beralih kepada Cleve yang sedang duduk di sofa, tepat di samping Varischa. Mereka sekarang duduk di ruang keluarga mendiskusikan kemungkinan yang akan terjadi besok. Apalagi rapat wali murid kelas X-B akan diadakan setelah Raline berbicara dengan guru BK.
"Tante tahu Aarline nggak akan berbuat kayak gitu, Cleve." Raline menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tapi, kita nggak punya bukti. Walau berada di pihak yang benar, tapi saksi nggak mengatakan yang sebenarnya tetap aja kita yang disalahkan. Apalagi nggak ada bukti. Begitulah hukumnya."
Cleve mulai merutuk diri karena tidak bersama dengan Aarline pada saat itu. Dia memilih makan di luar lingkungan sekolah, bukan mengawasi sepupunya seperti biasa.
"Ini salah aku, Tan. Harusnya aku selalu awasi Aarline," sesal Cleve meremas erat kedua daun tangan yang saling mengepal di atas paha.
"Cleve nggak salah! Aku yang salah, karena lemah," sela Aarline setelah berhasil membaca gerak bibir Cleve.
"Tetap aku yang salah, Aarline. Andai waktu itu—"
"Aarline bener, Cleve. Kamu nggak salah. Mungkin udah jalannya kayak gini." Raline kembali mengalihkan pandangan kepada Aarline sembari membelai lembut pinggir rambut pirang itu.
Sejak satu minggu terakhir, Aarline di-skors hingga Raline bisa datang ke sekolah. Sissy dan Ceria hanya diberikan peringatan keras, agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama, karena dinilai sebagai kaki tangan Aarline. Mutia dan Lestin dinyatakan sebagai korban. Apalagi kedua gadis itu mengalami luka memar.
"Apapun hasilnya besok, kamu harus terima ya, Sayang," ujar Raline tersenyum lembut kepada Aarline.
Gadis berambut pirang tersebut mengangguk dengan mengurai senyuman. Dia akan menerima semuanya dengan ikhlas, karena tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Selama lima hari ini, Sissy, Ceria, Cleve, Miko dan Jeremy berusaha mencari saksi lain namun tidak satupun yang bersedia. Padahal pada saat Mutia dan Lestin memaksa Aarline naik ke atap, siswa kelas tiga sedang ramai bermain di luar kelas karena masih jam istirahat.
Mereka sudah melakukan berbagai hal untuk membuktikan Aarline tidak bersalah, tapi semua usaha sia-sia. Sialnya CCTV di lantai tiga yang seharusnya bisa merekam kejadian sedang dalam perbaikan, sehingga tidak bisa dijadikan bukti.
"Kamu sudah cari saksi lain?" Kali ini Varischa bersuara.
"Udah, Mi. Semuanya bilang nggak lihat." Cleve mendesah pelan. "Rata-rata yang ada di sekitar kejadian perempuan dan mereka mungkin kesal sama go—"
"Cleve udah usaha banyak, Aunty," potong Aarline sebelum Cleve menyelesaikan kalimatnya.
Bersyukur pemuda itu berbicara pelan, sehingga ia bisa memprediksi apa yang akan dikatakan setelah itu. Aarline tidak ingin kedua orang tuanya salah paham dan berpikiran yang bukan-bukan tentang mereka.
"Tapi nggak ada yang bersedia," sambung Aarline kemudian.
"Hendra udah berusaha meyakinkan guru-guru yang lain untuk memberi kesempatan sama Aarline, Ra. Tapi lebih dari 50% guru dan wali murid mengemukakan pendapat yang memberatkan Aarline," komentar Daffa yang baru saja datang dari kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...