Empat bulan kemudian
Manik biru jernih milik Aarline bergerak mengitari kamar yang sebentar lagi ditinggalkan. Dia mengusap permukaan meja kayu yang selama ini dijadikan tempat belajar dan menulis buku diari. Perlahan pergerakan matanya beralih ke sisi kamar yang lain. Tampak foto-foto kebersamaan dirinya dengan kedua kakak dan adik kembar, ada beberapa foto juga yang diabadikan bersama dengan Raline dan Aaron.
Aku pasti akan rindu dengan kamar ini, batinnya sendu sembari mengambil beberapa foto tersebut. Sesaat kemudian, lembaran foto dimasukkan ke dalam sling bag.
Perlahan terasa tepukan pelan di pundak gadis itu. Ketika tubuh mungilnya berbalik ke belakang, ia mendapati Aarsha berdiri dengan berderai air mata. Anak perempuan inilah yang menjadi teman curhatnya selama ini. Sekarang mereka berdua akan berpisah untuk waktu yang lama.
"I will miss you, Sister," isak Aarsha ketika tangis tak dapat dibendung.
Aarline segera meraup adik kecilnya ke dalam pelukan. "Is ... yu ... tu," ucapnya berusaha melafalkan kalimat 'Miss you too'.
"Aarline sudah selesai belum?" Terdengar suara sang Ibu dari sela pintu kamar. Hari ini mereka berdua akan berangkat ke Jakarta.
Raline terdiam ketika melihat kedua adik kakak itu saling berbagi tangis, sebelum berpisah. Dia diam bersandar di kosen pintu dengan perasaan bercampur aduk.
Aarsha mengalihkan paras dan menunjukkan raut protes kepada ibunya. "Kenapa sih buru-buru banget ajak Kak Aarline ke Jakarta, Mom? Kak Aarline nggak masuk tahun ini juga, 'kan?"
Dikarenakan perbedaan waktu dimulainya tahun ajaran baru sekolah di Indonesia, Aarline tidak bisa mendaftar pada tahun ini. Dia baru bisa mendaftar tahun depan. Artinya gadis itu tidak satu kelas dengan Cleve, keponakan Raline.
Aarline melihat perubahan raut wajah adiknya dengan tatapan bingung. Dia tidak bisa membaca gerakan mulut Aarsha, karena menggunakan bahasa Indonesia.
Wanita paruh baya itu melangkah mendekati Aarsha sambil tersenyum lembut. "Kamu benar, Sayang. Tapi Aarline butuh penyesuaian dulu. Dia juga harus belajar membaca gerak bibir dalam bahasa Indonesia."
"Kamu tahu selama ini Aarline hanya belajar membaca gerak bibir dalam bahasa Inggris, 'kan?" Kedua alis Raline naik ke atas ketika memandang netra hitam Aarsha bergantian.
"Ya tetap aja masih bisa dua bulan lagi, Mom."
Raline menarik napas panjang. "Belajar membaca gerak bibir dan wicara bahasa Indonesia nggak segampang yang kamu bayangkan, Sayang."
"Tapi 'kan Kak Aarline ngerti juga bahasa Indonesia." Aarsha masih berargumen sambil menunjukkan raut keberatan, karena tidak ingin berpisah dalam waktu dekat dengan kakaknya.
"Kita bisa ke Jakarta libur natal nanti, Sayang," bujuk Raline memandang lembut Aarsha.
Baru saja Aarsha ingin melayangkan protes lagi. Aarline sudah mengusap punggungnya. Senyum manis tergambar di paras gadis itu.
Kita akan bertemu lagi, Dek, ucapnya dalam hati sembari melakukan gerakan bahasa Isyarat.
Wajah Aarsha kembali mengernyit tak rela berpisah dengan Aarline.
"Kita harus berangkat sekarang. Jadwal pesawat tiga jam lagi." Aaron tiba-tiba datang ke kamar Aarline. "Ada apa ini?"
"Biasa ada yang belum ikhlas kakaknya ke Jakarta," ledek Raline mengerling usil kepada Aarsha.
"Mommy!" protes Aarsha sambil menyeka air mata.
"Jangan seperti itu, Raline. Kamu juga begini waktu pisah sama Uda Daffa dulu," balas Aaron menyeringai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...