Hampir satu bulan berada di Jakarta, Aarline mulai terbiasa dengan makanan dan suasana di kota Metropolitan ini. Selama dua minggu juga, ia menjalani terapi wicara. Meski Raline sering berbicara dengan bahasa Indonesia, tapi gadis itu masih mengalami kesulitan dalam memahami gerak mulut dan juga pengujarannya.
"Coba ikuti." Terapis meletakkan kartu-kartu kecil di atas meja.
Aarline memfokuskan pikiran melihat kartu berukuran kecil yang menunjukkan berbagai jenis binatang tersebut. Dia membaca tulisan yang tertera di sana dalam hati.
"Lihat gerakan bibirku," kata perempuan berkerudung itu menunjuk bibirnya sendiri.
Pandangan Aarline beralih melihat gerak bibir terapis.
"Kelinci. Ke-lin-ci," ujar terapis tersebut membuka lebar bibirnya. Dia mengucapkannya pelan berulang kali, kemudian mempercepat gerak bibir.
"Ke ... in ... ci," ulang Aarline.
"Bukan Ke-in-ci, tapi ke-lin-ci." Terapis membetulkan cara pengujaran Aarline. "Coba ulangi, Lin."
"In ... ci."
Terapis kembali menggelengkan kepala. "L. Coba pegang lidah kamu," suruhnya menunjuk ke dalam rongga mulut Aarline.
Gadis itu memandang lesu. Baru sekarang ia merasakan betapa sulitnya untuk berbicara. Apalagi ketika mengucapkan huruf L, N, D dan R. Aarline juga sering disuruh menggunakan alat khusus untuk menunjang terapi.
"L," ucap Aarline pada akhirnya.
"Good," puji terapis mengacungkan ibu jari.
Mereka kembali melanjutkan latihan pengujaran untuk nama-nama hewan, hingga dua jam ke depan. Untuk mengejar ketertinggalan dalam pengujaran bahasa Indonesia, Aarline rela melakukan terapi dengan durasi yang lama.
Satu bulan pertama, ia diminta menghafal kata-kata sekaligus diajarkan cara pengujaran yang benar. Bulan kedua baru belajar merangkai kata, agar lebih tertata. Aarline benar-benar memulainya dari awal.
Setelah terapi hari ini selesai, Aarline bersiap-siap pulang. Lima belas menit lagi Cleve datang menjemput. Dia sering berangkat dan pulang bersama sepupunya, karena sekolah dan klinik terapi searah.
Ponsel Aarline bergetar di saku celana ketika pesan masuk dari Cleve.
Cleve: Aku berangkat sekarang. Tunggu di depan, biar kita langsung pulang.
Gadis itu segera membalas pesan yang dikirimkan Cleve, kemudian melangkah ke lobi klinik.
Semenjak jalan-jalan ke Dufan bulan lalu, mereka menjadi dekat. Cleve tidak lagi sekaku biasa kepada Aarline. Dia juga banyak membantu sepupunya itu dalam mempelajari kosa kata bahasa Indonesia.
Aarline juga meminta Cleve untuk mengirimkan pesan menggunakan bahasa Indonesia saja. Tak hanya itu, ketika senggang mereka juga berlatih ujaran dan juga membaca gerak bibir di rumah. Oya, pemuda itu juga mengajarkannya beberapa kosa kata dalam bahasa gaul.
Berat? Jelas. Semua tidak mudah dijalani Aarline, tapi kegigihan membuatnya mampu berperang melawan diri sendiri ketika merasa lelah. Ketika ingat impian-impiannya, ia kembali semangat lagi menjalani semua ini.
Sepuluh menit kemudian Aarline berdiri di depan klinik menunggu Cleve datang. Pandangan mata birunya melihat ke sisi kanan jalan yang biasa dilalui sepupunya. Senyum mengambang di paras cantik itu ketika melihat motor CBR berwarna biru metalik memasuki pekarangan klinik.
Begitu motor berhenti, Cleve membuka helm full face yang dikenakan. "Nggak mau jalan-jalan dulu?" tanya pemuda itu.
Aarline menggeleng. "Mom ... my. Be-ok ... pe-gi," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...