Many persons have a wrong idea of what constitutes true happiness. It is not attained through self-gratification but through fidelity to a worthy purpose.
-Helen Keller-
Aarline pulang dengan perasaan lega setelah nyaris mengamuk di kelas XI-B. Apalagi saat tahu Cleve juga sudah melaporkan kejadian ini kepada guru BK. Tapi masih ada yang mengganjal di hati, benarkah yang menyebarkan rumor tentang dirinya dan Cleve adalah Mutia? Jika benar, kenapa pemuda itu tidak mengatakan hal yang sebenarnya kepada si Mantan Pacar sehingga gosip tidak akan beredar seperti ini?
"Ngomong ... sebentar ... mau?" tanya Aarline setelah mereka tiba di ujung tangga atas lantai dua kediaman Rahardian.
"Aku ganti baju dulu, habis itu ke kamar kamu," jawab Cleve sambil mengendus kerah seragam sekolah. "Bau keringat nih, gerah habis marah-marah."
Aarline tertawa melihat ekspresi Cleve yang tampak konyol mengucapkan kata gerah. Dia mengangguk sebelum melangkah memasuki kamar.
Selesai berganti pakaian, sebuah panggilan masuk ke ponsel Aarline. Kebetulan ia meletakkan gadget tersebut di atas meja rias, sehingga bisa tahu ada yang menghubungi.
"Mommy!" serunya semringah.
Aarline menggeser tombol kamera yang berada di bagian tengah bawah layar. Dalam hitungan detik wajah khas Indonesia milik Raline memenuhi tampilan ponsel. Gadis itu mulai memfokuskan pikiran melihat bibir ibunya. Dia berharap jaringan lancar, sehingga tidak mengalami kendala selama berkomunikasi nanti.
"Hai, Sayang. Gimana sekolahnya tadi?" sapa Raline setelah melihat putrinya.
"Baik," sahut Aarline tersenyum lebar.
"Ulangannya?"
Bibir Aarline maju beberapa centimeter ketika ingat ulangan kemarin. Dia menggelengkan kepala lesu, karena mendapatkan nilai C. Perlahan tangannya terangkat ke atas memperlihatkan huruf ketiga dari susunan abjad.
"Nggak apa-apa. Udah bagus loh itu. Kamu 'kan masih penyesuaian di sana," hibur Raline.
"Teman-teman kamu gimana?"
"Baik ... Sissy dan ... Ceria."
Mereka berdua berbicara membahas seputar kehidupan Aarline di sekolah dan di rumah. Tampak kelegaan di wajah Raline saat tahu putrinya sekarang sudah mulai terbiasa hidup berjauhan darinya. Berbeda dengan awal-awal ditinggalkan di Jakarta, setiap video call pasti menangis karena rindu.
"Mommy, kapan ... ke sini?"
"Insya Allah bulan depan Mommy pulang. Tapi sendiri, Daddy nggak bisa ikut karena ada proyek besar yang harus selesai dalam waktu dekat," tanggap Raline.
Aarline mengangguk paham. Dia tahu persis bagaimana pekerjaan Aaron, sehingga bisa memakluminya. Apalagi saat ini sedang menangani proyek besar, artinya harus benar-benar diawasi. Jika tidak, gedung yang telah dibangun tidak memiliki kualitas yang bagus.
"Aku ... tunggu. Miss you, Mommy," ucap Aarline kemudian.
"Miss you too, Darling. Baik-baik di sana ya. Nanti video call lagi rame-rame kalau Daddy, kakak-kakak dan adik-adik udah pulang."
"Oke, Mom. Aku ... ngobrol sama ... Cleve ... dulu," pungkas Aarline sebelum panggilan berakhir.
Setelah memastikan video call selesai, Aarline langsung membuka pintu. Iras wajahnya berubah saat melihat Cleve sudah berdiri di depan kamar entah berapa lama.
"Maaf, tadi ... Mommy ... telepon," tutur Aarline merasa bersalah.
"No problem, tadi aku dengar. Kamu ngomongnya kekencengan," ledek Cleve tersenyum usil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISYARAT [TAMAT]
Teen FictionAarline Brown, seorang gadis keturunan Minang-Inggris divonis tuli sejak lahir. Dia sangat mengagumi sosok Helen Keller, sehingga termotivasi untuk mengenyam pendidikan di sekolah umum non inklusi. Sayang keinginan Aarline tidak bisa terwujud dengan...